Oleh: Patria Subuh
(Pengamat Sosial)
“HEALTH is better than wealth”, kesehatan lebih berharga dari kekayaan. Demikian kata pepatah yang diadopsi dari bangsa asing itu. Namun ironisnya, zaman sekarang banyak orang tak peduli lagi dengan kesehatannya asal bisa menjadi kaya raya. Kekayaan bagi mereka adalah suatu keniscayaan yang amat mengasyikkan dan membuat mereka merasa lebih terhormat berada di dalam lingkungannya.
Kekayaan adalah target utama pencapaiannya meskipun terpaksa harus menghalalkan segala cara atau menabrak etika. Apapun risikonya memang harus dihadapi. Toh, kesehatan pun masih dapat dibeli dengan uang.
Sejatinya orang yang berpandangan seperti di atas barangkali pernah mengalami trauma psikologis dan stigma negatif ketika masih kecil, sehingga setelah dewasa berusaha mencari pengakuan akan eksistensi dirinya melalui usaha-usaha yang amat ketat, penuh persaingan dan intensif untuk menjadi orang kaya.
Mereka adalah lambang sukses/keberhasilan dalam keluarga yang tak banyak orang berpredikat seperti itu. Di daerah tertentu, mereka bahkan adalah orang yang senantiasa diprioritaskan dalam setiap acara/kegiatan dan selalu dipatuhi oleh sanak familinya. Lambang prestise yang menimbulkan rasa hormat di dalam keluarga dan masyarakat terlepas dari bagaimanapun metoda yang digunakannya untuk memperoleh kekayaannya.
Menjadi orang kaya di jaman sekarang identik dengan gengsi, harga diri, kehormatan dan kemudahan yang diperoleh serta privilese dalam menjalani kehidupannya. Siapa yang tidak suka dengan kenyamanan hidup seperti ini? Boleh dikatakan hampir seluruh manusia normal menginginkan gaya hidup seperti ini.
Kemanapun mereka pergi selalu dihargai, dihormati dan diperhatikan sampai ke hal-hal yang sedetil-detilnya. Jika masuk ke hotel bintang lima, para resepsionis hotel akan sangat antusias dan berlomba memasang mimik wajah yang semenarik mungkin. Bahkan kalau bisa, mungkin berharap adanya “followup” yang lainnya setelah itu.
Mereka sangat dihargai, penuh dengan pelayanan terbaik terutama jika masuk ke restoran mewah, rumah sakit elit atau supermarket terkenal sekalipun. Mereka sangat diperhatikan kalau sedang berbicara. Lalu, siapa yang tidak ingin menjalani kehidupan seperti itu?.
Namun untuk menjadi orang kaya seperti itu memang harus mengeluarkan usaha dan energi yang tidak sedikit dan tidak ringan untuk mencapainya. Banyak pengorbanan yang dialami termasuk korban perasaan, pikiran, bahkan korban mental dan kesehatan.
Hal ini menunjukkan bahwa tak ada satupun yang dapat diperoleh didunia ini seperti semudah membalikkan telapak tangan.
Seseorang yang dapat memenuhi tiga kriteria kebutuhan seperti kebutuhan primer, sekunder dan tersier sudah dianggap sebagai hidup yang serba berkecukupan. Dengan demikian seseorang belum disebut orang berada / orang kaya kalau minimal salah satu saja dari kebutuhan itu tidak terpenuhi.
Ekosistem kondusif yang telah difasilitasi oleh pemerintah melalui kebijakan dan program-programnya, dewasa ini cukup banyak menghasilkan kelompok orang kaya. Tak sedikit orang yang naik tingkat dari kelas menengah bawah menjadi kelas papan atas dalam kurun waktu satu dekade terakhir ini.
Ada pepatah mengatakan bahwa “tak ada makan siang yang gratis” (No such thing as a free lunch) , yang artinya adalah bahwa dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan tak ada yang diperoleh secara gratis dan cuma-cuma. Dengan kata lain, segala sesuatunya pastilah ada ‘udang dibalik batu’-nya. Sangat sulit untuk mencari sesuatu yang tulus murni di dunia ini. Apa artinya hal ini?
Struktur ekonomi yang telah dibangun oleh pemerintah dewasa ini dapat diibaratkan sebagai suatu gerbong perekonomian dimana aktor utama sebagai kepala lokonya adalah para orang kaya yang terdiri dari petani kaya, pejabat kaya atau pengusaha kaya.
Mereka sudah seyogyanya dapat berfungsi sebagai gerbong penarik loko dalam menunjang perekonomian bangsa sebagai kompensasi atau payback atas keberhasilan usahanya. Banyak cara yang aplikatif dan strategis yang dapat dilakukan. Antara lain misalnya dengan mengadakan bazaar murah secara periodik, pemberian beasiswa pendidikan, bantuan modal kerja, pelatihan kerja, rekrutmen tenaga kerja dari unsur lokal, CSR (Corporate Social Responsibilities) berdasarkan prioritas, bantuan buku-buku sekolah untuk keluarga miskin, dll.
Hal diatas tentunya akan sangat membantu pemerintah dalam menekan “gap” yang semakin lebar antara kelompok kaya (the haves) dan kelompok miskin (not the haves). Bila terjadi kesenjangan yang tidak sehat seperti ini, maka pada gilirannya akan merugikan bangsa itu sendiri. Yang paling parah terkena imbasnya adalah kelompok miskin.
Banyak kejadian pada bangsa lain yang akhirnya mengarah ke revolusi, seperti misalnya revolusi Perancis, revolusi Kebudayaan di China, revolusi Bolsheviks di Rusia atau bahkan revolusi seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin.
Namun pada umumnya setelah berevolusi sekian lama, bermetamorfosa dalam suatu wadah “ Survival of the Fittest” dalam konteks negara, seperti teori Darwin dalam bukunya yang terkenal itu, setelah makan korban sekian banyak, akhirnya muncul agregat baru dalam tubuh bangsa itu yang lebih kuat, lebih tangguh dan lebih maju dalam bertindak dan pola berpikirnya.
Tak ada seorangpun di negeri ini yang menginginkan hal seperti itu terjadi. tidak akan sedikit pula korban berjatuhan dalam situasi sulit itu. Sebagian keluarga-keluarga tercerai berai. Struktur pemerintahan mengalami perombakan secara radikal. Dan orang-orang hebat bergiliran datang dan pergi dalam pemerintahan.
Inilah yang harus dihindarkan oleh para pemimpin di negara ini. Bekerjasama dengan berbagai unsur baik pemerintah ataupun non pemerintah dengan memanfaatkan penguasaan teknologi, saling “share”, saling berbagi, bersama-sama memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara-cara yang lebih sportif dan fair. *)