JAWA TIMUR, AmanMakmur.com— Serikat Pekerja PT Boma Bisma Indra (BBI) menemui Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang sedang reses di Jawa Timur, Rabu (22/12).
Kepada LaNyalla, Ketua Umum Serikat Pekerja BBI, Supriyanto, berharap DPD RI menyampaikan aspirasi ke Kementerian BUMN untuk menyelamatkan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang manufaktur, permesinan, peralatan industri, manajemen project juga diesel engine itu.
“BBI termasuk salah satu BUMN yang akan ditutup Kementerian BUMN. Padahal BBI mempunyai sejarah panjang dan karya-karya yang dihasilkan sangat berkontribusi bagi kemajuan bangsa,” kata Supriyanto.
Karya-karya PT BBI, lanjutnya, tidak sembarangan. Antara lain pembuatan jembatan Holtekam Papua, jembatan Kalikuto Jawa Tengah, pembuatan komponen kilang minyak, komponen pabrik gula, pembuatan gudang Bulog dan pengolahan beras, dan lain-lain.
Dijelaskannya, sebenarnya perusahaan masih mampu bersaing dan berproduksi dalam menghadapi dibukanya pasar bebas. Namun memang perlu suntikan permodalan dan tambahan peralatan.
Karena itu Serikat Pekerja PT BBI mengusulkan kepada pemerintah untuk peremajaan peralatan yang dimiliki, pemberian modal kerja yang cukup, perbaikan prasarana dan fasilitas perusahaan.
“Peralatan kami sejak tahun 1987 belum ada upgrade. Jadi bisa dibilang out of date atau ketinggalan zaman. Tapi masih bisa difungsikan meski tidak maksimal. Makanya kami perlu perhatian soal ini,” ujarnya.
Kemudian lanjutnya BBI masih mendapatkan kepercayaan besar dari para customer. Terbukti dengan masuknya beberapa order strategis dan non strategis.
“Tapi kami tidak punya modal untuk pengerjaannya. Kita berharap pemerintah memberikan modal kerja dalam bentuk penyertaan modal negara agar PT BBI dapat bersaing secara sehat dan keluar dari krisis,” katanya lagi.
Selain itu, SP BBI meminta regulasi dari pemerintah agar produk PT BBI mempunyai pangsa pasar yang jelas.
“Contohnya begini, kita memproduksi komponen pabrik gula, tetapi produk kita sia-sia karena tidak terserap. Pabrik-pabrik tersebut malah memakai alat-alat impor. Di sinilah perlunya aturan agar lebih utamakan produksi dalam negeri,” tegas Supriyanto.
Menanggapi aspirasi tersebut, LaNyalla sepakat pemerintah harus memastikan industri-industri yang dibangun di era Orde Lama dan Orde Baru direstorasi.
“Memang harus melalui proses asesmen dari PPA mengenai kondisi terakhir perusahaan. Tetapi menurut saya, dibandingkan impor lebih baik restorasi industri yang sudah ada,” ujar LaNyalla.
Sebagai negara yang besar, tegasnya, Indonesia wajib memiliki heavy industries di sektor-sektor strategis.
Dikatakan LaNyalla, inilah salah satu akibat dari penambahan ayat di Pasal 33 UUD hasil Amandemen 2002, dimana di ayat 4 menggunakan pendekatan efisiensi, sehingga heavy industries nasional bukannya direstorasi, tapi malah ditutup, karena lebih efisien impor, atau memberi peluang investor asing untuk membuka industri yang sama di dalam negeri.
(Rel/dpd)