
Oleh: Prof Djohermansyah Djohan
JABATAN tak ada yang abadi. Hari Minggu 20 Oktober 2024 ini, Presiden Jokowi yang memerintah Indonesia selama 10 tahun kembali jadi rakyat biasa. Ia pulang ke rumah pribadinya di Solo, tak tinggal lagi di istana “bau kolonial”. Dari rakyat kembali jadi rakyat, sebagaimana halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang balik ke Cikeas.
Bagi orang yang meninggal berlaku dalil, “bicarakan saja kebaikannya, tak usah disebut-sebut aibnya”. Tapi, buat pejabat pemerintahan yang mengakhiri jabatan, dalilnya agak lain, “boleh dan sah-sah saja diungkapkan dan disosialisasikan segala prestasinya, tapi jangan lupa orang boleh pula menyebutkan kekurangan dan kelemahannya”.
Mengapa beda? Karena bagi orang yang meninggal, segala sesuatunya telah selesai alias berakhir, tak ada yang bisa diperbaiki lagi (case closed). Kenangan kebaikannya bisa menjadi penghibur bagi keluarga yang berduka.
Sedangkan buat pejabat yang lengser, kehidupan belum habis, dunia masih berputar, buku belum ditutup. Jika “ada abuse of power” dia masih punya kewajiban mempertanggungjawabkannya sesuai prinsip akuntabilitas.
Sekecil apapun perbuatan pejabat publik hendaklah dipertanggung-jawabkan, apa lagi jika dia punya kasus pidana. Karena, semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan.
Namun yang lebih penting adalah agar pejabat pengganti tak mengulangi lagi kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya. Karena itu, dalam tradisi kepemerintahan kita, selalu dibuat acara lepas-sambut, yaitu melepas pejabat lama dan menyambut pejabat baru, di mana di situ diserahkan memori jabatan yang memuat pelaksanaan tugas pokok serta kendala yang dihadapi.
Memori jabatan ini biasanya dipelajari dengan seksama oleh pejabat baru agar ia tak menempuh lagi jalan “sesat” seperti melawan atau menyimpangi konstitusi atau merusak demokrasi dan menghambat maupun cawe-cawe dalam penegakan hukum.
Tradisi memori jabatan tersebut sangat bermanfaat. Tapi ada tradisi lain yang berbau feodal, yaitu membuat pesta perpisahan jelang berakhir masa jabatan yang sampai memakan biaya negara miliaran. Karena ada panggung hiburan dengan menghadirkan band dan artis-artis beken.
Tim sukses yang telah mengantarkannya dulu menjadi pejabat publik pun digalang untuk mengucapkan terima kasih dengan memasang spanduk-spanduk yang membuat kotor kota, tanpa membayar pajak pula ke pemda. Satpol PP tak berani menertibkannya. Anak sekolah dan aparat pemerintah diinstruksikan untuk mengelu-elukan pejabat yang mau pensiun itu di sepanjang jalan raya kota yang akan dilewatinya.
Tradisi ini hendaknya jangan dibiarkan berkembang. Bahkan, layak dilarang. Karena di samping pemborosan, juga tak mendidik rakyat. Kalau kita memang pejabat yang hebat, pemimpin yang amat berprestasi, dan dicintai rakyat, tentu rakyat tanpa dimobilisasi secara suka rela akan melepas sang pemimpin dengan gegap gempita. Tak perlu rekayasa.
Maka, ke depan baiknya dibuat UU Kepresidenan yang di dalamnya antara lain mengatur bagaimana proses pelantikan termasuk pakem melepas presiden lama dan menyambut presiden baru. Rambu-rambu diperlukan di negara ini karena demokrasinya masih belum substansial dan prilaku “state-actor” nya suka nyeleneh. *)
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, Dirjen OTDA Kemendagri Periode 2010-2014, Pendiri i-Otda