
PADANG, AmanMakmur —Pada tanggal 24 Agustus 2024 mendatang, Hamas (Himpunan Media Sumbar) berencana akan mengangkatkan acara; “Mengenang Sang Legenda Chairul Harun”, seorang sastrawan, budayawan dan wartawan Indonesia dari Ranah Minang, yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Aman Makmur dan Harian Umum Haluan yang terbit di Padang pada tahun tahun 60-70an.
Acara “Mengenang Sang Legenda Chairul Harun” ini akan berisi; Orasi Budaya,Testimony Speech, Achievement Award, Doa dan Parade Baca Puisi karya-karya Chairul Harun.
Chairul Harun juga menulis novel, dan pada tahun 1979, novelnya yang berjudul “Warisan” mendapat hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ia juga pernah memimpin Badan Koordinasi Kegiatan Kesenian Indonesia (BKKNI) Sumatera Barat pada tahun 1977.
Sastrawan, budayawan, wartawan serta filsuf dan pemikir kelahiran Kayutanam, Padang Pariaman pada tanggal 17 Agustus 1940 ini meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1998.
Di samping novel, Chairul Harun juga menulis puisi. Dan bersama Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, serta Zaidin Bakry mengeluarkan buku kumpulan puisi dengan judul “Monumen Safari”.
Salah satu pusi dari Chairul Harun berjudul “Hotel” yang ditulisnya pada tahun 1964, dan terbit di majalah Horison.
Puisi “Hotel” karya Chairul Harun adalah karya sastra yang menggambarkan pengalaman dan refleksi penyair terhadap suasana dan dinamika kehidupan di sebuah hotel.
Puisi ini terdiri dari dua bagian yang masing-masing menghadirkan nuansa dan pemikiran yang unik.
Puisi “Hotel” karya Chairul Harun adalah karya sastra yang kaya akan imaji, emosi, dan refleksi. Ia berhasil menggambarkan ketegangan batin antara kehidupan mewah di hotel dan keinginan untuk kembali ke akar dan kehidupan sederhana di desa.
Puisi ini tidak hanya menjadi kritik terhadap modernitas, tetapi juga merupakan bentuk ekspresi pribadi tentang kerinduan akan identitas dan kembali ke tanah leluhur.
Berikut adalah puisi karya Chairul Harun tersebut;
Hotel (1)
Adakah bidadari kiraikan lembut sayapnya
dari celah-celah pilar sinar memagar kota?
Mengajak kita terjuni jurang ternganga curam
Gamit kita rangkul pulasan kefanaan
Adakah suara azan dikumandangkan
dari tingkat tertinggi ini bangunan
kala rindu terungku kita dalam kesenyapan
dan ingin berdoa dalam kedamaian
Di sini keajaiban kerja gelitik mata
mengantar-lambungkan kita ke sorga
bertegur saga dengan mimpi
dengan irama dunia tanpa dikenal orang jalanan
Dan perempuan berkaki ramping
menggelicik dari ketakwaan
terbungkus dalam pakaian duniawi
yang bebani dada mekar mereka
hingga seulas senyuman
adalah seseloki anggur yang tumpah
Dan di sinilah makanan dengan segala rasa
Dan di sinilah minuman dengan segala nama
Datangnya dari perut bumi tersaji
Adakah semua untuk dinikmati
pelenyap lapar dan dahaga
Ataukah menunjuk gelas
menjentik sofa dan kerlingan mata
pancaran bangga dalam berlupa?
Dan dalam busa alkohol serba ria
laki-perempuan menjelma
jadi warga Paria, Tokio atau Roma
Betapa kita payah menyigi
temukan seorang saja
warga Bukittinggi, Malang atau Jakarta
Betapa asing ruang ini bagiku
orang teratak gunung Singgalang
yang hidup dalam lagu alam
dibuai suling anak gembala
dan besar dalam renyai senja
serta didendangkan kicau burung pagi hari
Adakah hotel ini di tanah airku
ataukah milik segala bangsa, siapa saja
tanpa aku dihitung di dalamnya?
Hotel (2)
Di teras aku ketuk dinding hotel
bagai ketuk hatiku sendiri:
“Tunjukkan padaku balai-balai terbaik
dan sungai jernih-sejuk
dimana aku bisa mengalaikan tubuh
dan mereka-reka tibanya musim ke sawah”
Tapi mata-mata yang jamah wajahku
bagai suatu sindiran tertuju
pada martabatku, pada segala sahabat
laik aku lelatu serbu lampu beribu wat
Wahai, terbukalah tingkap
rahasia dalam diriku, biar sekejap
takut gairah, rentakkan kaki
tatap perempuan dengan mata birahi
Oo diriku hanyalah diriku
terbanting terhenyak dungu membatu
Dan dengan mata tertutup penuh harap
aku bayangkan itik pulang ke rumah
bayangkan sawah berlumpur basah
dan kekasih lemparkan bunga ke air mengalir
sentuh bajak dan mata cangkul
kemudian berbisik pada benih tersebar
lirih, tanpa kata, semata cinta
Dan ketika musik jazz membahana
Aku berdoa: Semoga bulan ini
kapal tiada lagi sarat penumpang
Aku ‘kan kembali ke lembah hijau subur
ke kampungku di ranah Minang
kembali ayunkan cangkul
kembali gembalakan ternak
dan sempat bergurau bersama kekasih
di tengah padi bunting
di samping gubuk yang kubangun
di tanah sendiri, dengan tangan sendiri
Amin.
1964
Sumber: Horison (Juni, 1967)
(Putrie)