Oleh: Djohermansyah Djohan
(Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2013-2014, Pendiri i-Otda)
BANYAK berjalan banyak yang ditempuh.
Banyak usia banyak pengalaman.
Banyak makan “asam garam”.
Pemimpin perlu banyak pengalaman. Lewat segudang pengalaman, malang melintang di dunia pemerintahan baik di tingkat lokal maupun nasional akan timbul kematangan kepemimpinan.
Maka, dia akan cukup baik dalam mengambil keputusan. Dia akan memiliki kewibawaan. Dia ditaati dengan sukarela, bukan terpaksa. “Lidahnya masin, pintanya kabul”.
Itulah sebabnya dalam teori kepemimpinan pemerintahan dikenal batas awal orang dianggap matang jadi pemimpin, yaitu sekitar usia 40 tahun.
Rinciannya dari aspek pendidikan, tamat SLTA usia 18-19 tahun, tamat S-1 usia 22-23 tahun, dan tamat S-2 usia 24-25 tahun. Lalu, selama 14-15 tahun dia mencari pengalaman dalam berbagai jabatan pemerintahan seperti jadi anggota dewan, walikota/bupati/gubernur dan menteri, sehingga pada usia 40 tahun dia sudah layak diorbitkan menjadi calon presiden/wakil presiden.
Dari teori kepemimpinan pemerintahan tadi turun ke regulasi. Dibuatlah Undang-Undang sebagai “rule of the game” yang mengatur ambang batas terendah seorang menjabat kepala daerah.
Untuk menjadi calon bupati/walikota berusia sekurang-kurangnya 30 tahun, dan untuk menjadi calon gubernur berusia sekurang-kurangnya 35 tahun (lihat UU Pemda No 5 Tahun 1974). Kemudian, untuk menjadi calon presiden/wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun (lihat UU Pemilu No 7 Tahun 2017).
Di dalam praktik empirik di Indonesia, syarat usia minimal itu di tingkat pemerintahan lokal, baik provinsi maupun kabupaten/kota, umumnya terlampaui. Rata-rata usia gubernur/wakil gubernur di atas 35 tahun.
Begitu pula dengan usia bupati/walikota beserta wakilnya yang rata-rata di atas usia 30 tahun. Bisa dibilang, kecil sekali yang menyimpang, tak sampai 10 jari.
Itu artinya, syarat usia paling rendah bagi kepala daerah/wakil kepala daerah diterima publik sebagai praktik dalam rekrutmen pemerintahan yang baik.
Bagaimana dengan tingkat negara? Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga zaman reformasi kini, setahu saya tak seorangpun presiden/wakil presiden berusia di bawah 40 tahun. Malah belakangan ini cenderung usia pasangan presiden/wakil presiden makin menua (geronthology) seperti, Jokowi-Ma’ruf Amin, Jokowi-Jusuf Kalla, SBY-Boediono.
Maknanya adalah, syarat usia terendah dalam pencalonan presiden/wakil presiden kita sudah “going on the right track”.
Jadi, kalau ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia terendah calon presiden/wakil presiden yang minta diturunkan dengan alasan konstitusi, hak asasi, atau alasan apapun yang mengada-ada, seyogianya MK tidak mengabulkannya. Karena akan sangat merusak tatanan usia kepemimpinan pemerintahan yang sudah apik terbangun.
Ke depan baiknya, dibuat sebuah UU pemilu yang komprehensif mengatur semua pemilu di Indonesia, baik pilpres, pileg, dan pilkada, bahkan mungkin juga pilkades, termasuk syarat usia minimal masing-masing kepala pemerintahan itu.
Selain itu, ada baiknya pula bila ditata kembali batas pendidikan terendah para calon kepala pemerintahan kita mulai dari tingkat presiden hingga kepala desa. Jangan syarat pendidikan calon presiden/wakil presiden lebih rendah dari syarat pendidikan calon gubernur/wakil gubernur. *)