Oleh : Wiztian Yoetri (Wartawan Senior)
PADANG TV memasuki usia 14 tahun. Mengudara pada awal Maret 2007 hingga kini, stasiun televisi lokal ini tetap bertahan di tengah tantangan yang kian berat. Tantangan itu seperti datang dari delapan penjuru angin tetapi Padang TV tetap mengokohkan diri dari badai demi badai.
Memasuki usai 14 tahun ini, akankah tetap bertahan? Masihkah publik membutuhkan siaran televisi lokal? Apa yang hendak ditawarkan Padang TV agar tetap dibutuhkan publik? Beragam pertanyaan muncul sebagai perenungan untuk para punggawa Padang TV hari ini. Pertanyaan ini diajukan agar membuka ruang kesadaran bersama dan tumbuhnya harapan-harapan baru.
Sebagai orang yang terlibat menggagas pendirian hingga menikmati perjalanan tumbuhnya lembaga penyiaran satu ini, merasakan betapa berat tantangan yang datang dari luar. Kemajuan teknologi informasi (IT) telah mengubah segala laku publik terhadap dunia penyiaran. Pergeseran begitu cepat.
Lahir dan hadirnya platform media sosial, fasilitas video streaming, berbasis internet dan android di tangan publik, media elektronik dan media cetak tiba-tiba berada di belakang media sosial. Media sosial justru mengambil alih peran aktualitas walau bercampur dengan hoax dan fakenews. Namun media sosial memberi ruang kepada publik untuk aktif berperan menyiarkan, mengabarkan, mengomentari, setiap persoalan di sekitarnya.
Publik akhirnya dimanjakan oleh platform berbasis internet, seperti kehadiran youtube.com, vidio.com, livestreaming facebook.com, dll. Internet yang kian murah membuat akses informasi terbuka untuk siapa saja. Peran media massa yang selama ini hanya bisa dioperasikan oleh tenaga profesional terlatih, berizin, memiliki kapasitas penyiaran dan jurnalisme justru telah bisa dilakukan oleh siapa saja.
Pada kenyataan itulah lembaga televisi harus rela tidak sendiri lagi. Apalagi televisi lokal, yang sebelumnya masih berjuang di sela-sela kehadiran televisi swasta nasional yang sudah menancapkan siarannya ke daerah-daerah. Televisi swasta nasional itu punya ide kreatif dan modal telah menjadi idola di daerah karena sudah hadir sebelum pengaturan penyiaran tiba.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran hadir setelah reformasi dan bersamaan dengan Undang Undang Otonomi Daerah. Dua undang-undang ini adalah harapan bagi masyarakat daerah agar bisa mengaktualisasi dari, mengembangkan diri dalam berbagai hal bidang kehidupan. Namun harapan jarang sesuai kenyataan. UU Penyiaran memang telah membantu agar televisi swasta lokal bisa menasional, bisa bertahan dan berkembang, tetapi tantangannya sangat berat untuk meraih simpati publik daerah ketika dihadapkan dengan kekuatan televisi swasta nasional. Satu dua stasiun televisi lokal harus bersatu dengan televisi nasional karena tidak kuat menghidupi diri.
Bila kembali ke masa-masa awal berdiri Padang TV, bersama televisi lokal lain di Sumbar maupun di daerah-daerah lain, semangat untuk mengakomodasi paling tidak 10 kepentingan publik daerah memang memiliki optimisme tinggi ditambah dengan euforia otonomi daerah. Sama halnya dengan semangat tumbuhnya media cetak di daerah. Ternyata alur perjalanan sejarah menikung cepat, berubah oleh keadaan sosial politik didukung kemajuan teknologi informasi.
Kata Abdullah Khusairi, salah satu punggawa Padang TV pada masa awal yang kini jadi akademisi bidang media massa, televisi lokal umumnya menjadi wala yahya wala yamut (tidak hidup tidak mati). Seiring kata pepatah, hidup segan mati tak mau. Pepatah mengatakan, kerakap tumbuh di batu. Televisi lokal hanya mampu bertahan tetapi tidak bisa berkembang lebih jauh. Padahal dulunya, bila merujuk semangat yang ditunjukkan Dahlan Iskan terhadap televisi lokal, memberikan saluran aktualisasi diri masyarakat daerah agar tidak harus ke televisi swasta nasional. Tidak harus ke Jakarta untuk disiarkan televisi. Kepentingan daerah, mulai dari kreativitas anak muda, budaya lokal, politik lokal, aspirasi dan inspirasi, harus diberi ruang di televisi lokal. Tetapi hal ini tak terakomodasi karena keterbatasan dana dan kreativitas, yang berujung tidak dapat meraih simpati dan kepercayaan publik daerah sebagai modal mengembangkan diri.
Sementara itu, persaingan dan tantangan datang dari berbagai sisi. Sisi atas ada televisi nasional yang padat modal-padat karya, sisi bawah ada laku hidup masyarakat bergeser karena ada fasilitas platform, membuat share pemirsa kian jauh turun. Publik kian tertarik menayangkan diri sendiri dan dunia sekitarnya melalui media sosial mereka. Menonton idola mereka yang juga sudah menyediakan konten sendiri.
Apakah di tengah keadaan ini, televisi lokal masih bisa bertahan? Apakah publik masih membutuhkan siaran televisi lokal di rumah mereka? Bukankah seluruh informasi sudah bisa didapatkan di ujung jari kita? Menjawab hal ini memang tak mudah tetapi ada kata kunci penting bagi punggawa lembaga penyiaran lokal. Pertama, ikut secara dekat dan total di media sosial. Kedua, ide kreatif di atas rata-rata dari konten di media sosial dan televisi swasta nasional. Ketiga, mau berkorban untuk kualitas dan pemanjaan terhadap pemirsa lebih dahulu dari pada keuntungan. Keempat, restrukturisasi perangkat agar siaran bisa mengepung seluruh negeri. Kelima, kesadaran bersama seperti pada masa awal para awak Padang TV memiliki semangat kebersamaan yang tinggi untuk maju bersama.
Ikut secara dekat dan total di media sosial artinya ada tim khusus yang benar-benar mendekatkan konten kreatif siaran agar menyasar pangsa pasarnya. Misal, siaran untuk anak muda disasar segera pemberitahuan juga promosinya ke seluruh jejaringan media sosial anak muda, begitu pula politik, kedaerahan. Terakhir, kunci terbaiknya adalah bagaimana kemasan konten dengan melibatkan rumah produksi lokal yang dulunya sangat diharapkan tumbuh bersama. Ini belum tergarap baik. Lembaga penyiaran sebaiknya tak banyak ikut produksi, membatasi, berikan ruang pihak ketiga pengisi konten. Siarkan dengan kesepakatan saling menguntungkan.
Satu lagi, jangan pernah ikut-ikutan membuat konten dari video yang terlalu banyak beredar di media sosial. Reproduksi seperti ini adalah kerja murah dan murahan dalam dunia penyiaran sehingga tak memiliki nilai ketertarikan lagi bagi publik. Kenapa harus nonton media televisi jika di media sosial sudah ada? Tentu saja media televisi segera ditinggalkan jika tidak mengubah diri dan menahan diri, agar tidak terpancing untuk bekerja mudah tanpa kualitas memadai.
Semua hal ini kembali kepada kesadaran awal, televisi sebagai lembaga penyiaran merupakan pengatur trend (trendsetter), bukan pengikut (follower). Menjadi trendsetter berarti berkarya dan berkreativitas, dengan menggunakan daya nalar dan imajinasi yang tinggi. Ini hanya bisa terjadi bila pengasuh media massa tiada berhenti belajar.
Agaknya, inilah renungan yang baik untuk punggawa Padang TV. Usia 14 tahun adalah usia muda yang sedang atraktif mengembangkan diri. Selamat, teruslah berkembang lebih baik dan inspiratif bagi publik Sumbar.*)
Penulis adalah Wartawan Senior