JAKARTA, AmanMakmur.com — Komite III DPD RI akan mendorong pada stakeholder terkait, terutama pemerintah untuk dapat memberikan perhatian lebih pada penanganan kesehatan jiwa di Indonesia. Karena saat ini penanganan kesehatan jiwa di berbagai daerah belum maksimal, karena belum memadainya baik infrastruktur ataupun sumber daya manusia dalam penanganan kesehatan jiwa.
“Belum optimalnya penanganan kesehatan jiwa di Indonesia secara internal akan menurunkan kualitas pembangunan SDM Indonesia dan secara global pada pencapaian Indonesia pada target dan indicator SDG’s,” ucap Wakil Ketua Komite III DPD RI Muslim M Yatim, saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka inventarisasi materi pengawasan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, di Ruang Padjajaran, Selasa (6/9/2022).
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komite III DPD RI Evi Apita Maya mengatakan bahwa hingga saat ini kesehatan jiwa merupakan permasalahan kesehatan yang belum terselesaikan di masyarakat. Apalagi akibat pandemi Covid-19, kasus kesehatan jiwa di Indonesia mengalami peningkatan. Meski begitu, hal tersebut tidak diimbangi dengan implementasi UU Kesehatan Jiwa secara ideal.
“Fakta yang tidak terbantahkan belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Hingga 2021, masih ada tujuh provinsi di Indonesia yang belum memiliki fasilitas RSJ,” jelasnya.
Selain RSJ yang terbatas, Evi yang merupakan Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Barat ini juga mengatakan bahwa Indonesia juga dihadapkan pada kurangnya SDM profesional terkait penanganan kasus kesehatan jiwa. Menurutnya, sampai saat ini jumlah psikiater hanya sekitar 1.000 orang saja.
“Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Hal ini merupakan beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia,” jelasnya.
Narasumber RDPU tersebut yaitu Health Specialist UNICEF Indonesia Artha Camellia mengatakan ada beberapa tantangan dalam pelaksanaan dukungan kesehatan jiwa di Indonesia. Pertama adalah alokasi anggaran yang minim. Kedua, koordinasi lintas bidang terkait yang belum terlihat dalam pencegahan dan penanganan masalah kesehatan jiwa.
“Dan ketiga, peningkatan pemahaman kesadaran tentang dampak, gejala, serta informasi yang belum merata. Sehingga masyarakat tidak tahu mengenai penanganannya, terutama di lokasi-lokasi yang jauh dari akses,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa (2012-2014) Nova Riyanti Yusuf mengatakan bahwa latar belakang UU No 18 Tahun 2014 dirumuskan karena banyaknya pelanggaran HAM dalam penanganan kesehatan jiwa seperti pemasungan dan diskriminasi. Dirinya juga mengakui bahwa UU Kesehatan Jiwa tidak dilaksanakan dengan ideal. Karena sejak berlaku tanggal 8 Agustus 2014, sampai saat ini tidak memiliki peraturan turunannya.
“Seharusnya tahun 2015 peraturan pelaksanaan dari UU ini ditetapkan, tetapi sampai 2022 belum ada. Kami harapkan DPD RI dapat mendorongnya,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPD RI dari Sulawesi Tenggara Dewa Putu Ardika Seputra menilai tidak adanya aturan turunan dari UU No 18 Tahun 2014 menjadi penyebab berbagai permasalahan penanganan kesehatan jiwa di berbagai daerah.
“Saya berharap teman-teman di Komite III untuk mengawal agar UU ini dapat memiliki peraturan turunannya,” kata Dewa.
Anggota DPD RI dari Sumatera Selatan Arniza Nilawati mengatakan bahwa banyak pemerintah daerah yang tidak memiliki acuan dalam penanganan masalah kesehatan jiwa. Termasuk adanya alokasi dana untuk RSJ dalam meningkatkan pelayanan. Hal tersebut berakibat pada tidak terlayaninya masyarakat kurang mampu yang mengalami masalah kesehatan jiwa.
“Kalau ada pasien yang latar belakangnya menengah ke bawah, hidupnya gelandangan, anak-anak usia dini, itu dikembalikan lagi ke Dinas Sosial. Dan itu dimasukkan ke tempat yang amat tidak sangat layak,” imbuhnya.
Anggota DPD RI dari Jawa Tengah Bambang Sutrisno mengusulkan agar Puskesmas di tiap daerah dapat dilibatkan dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Dirinya juga mengeluhkan terkait sulitnya penggunaan BPJS bagi masyarakat yang ingin memeriksakan kesehatan jiwanya.
“Selama reses kemarin, banyak sekali yang dikeluhkan berkaitan dengan BPJS. Adanya rujukan berjenjang menyulitkan administrasi di lapangan,” ucap Bambang.
(Rel/dpd/ars)