JAKARTA, AmanMakmur.com —Wakil Ketua Pansus BLBI DPD RI Senator Dr (Cand) H Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim SE, MM, menegaskan skandal BLBI Gate merupakan penjarahan uang rakyat secara besar-besaran.
“Dana sebesar itu yang seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat kecil melalui pembagian kue pembangunan justru ditilep oleh penjarah-penjarah kelas kakap,” jelas tokoh yang akrab disapa Habib Banua ini di Jakarta, Rabu (9/3).
Menurutnya, skandal BLBI ini merupakan salah satu bentuk kejahatan di sektor keuangan. Pelaku kejahatannya pun sebenarnya mudah diidentifikasi. Namun ironisnya, hukum tidak mampu menyentuh oknum-oknum yang jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan pemerintah sendiri lemah tak berdaya menghadapi permainan politik meraka.
Karena itu, dia meminta negara tidak boleh kalah dengan para penilep uang pajak rakyat ini. “Jangan biarkan maling uang negara tidur nyenyak. Usut tuntas, penjarakan dan miskinkan,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, DPD RI mengesahkan pembentukan Pansus BLBI, yang merupakan aspirasi anggota DPD yang merepresentasikan rakyat Indonesia. “Kami tidak terkait dengan partai, jadi non partisan,” ujarnya.
Dia menjelaskan kasus BLBI merupakan sejarah kelam dari kebijakan ekonomi di Indonesia. Karena faktanya, fasilitas BLBI ini banyak yang diselewengkan. Bahkan mengalami penyimpangan penyaluran yang luar biasa. Penyimpangan ini melibatkan multi pihak dan multi dimensi.
Salah satu bentuk penyimpangan yakni obligasi rekap lebih dari Rp400 triliun dibayar oleh negara Rp1030 triliun. “Namun, hanya Rp110 triliun yang mau ditagih oleh pemerintah kepada para obligor. Ini kan aneh,” jelasnya.
Selain soal obligasi rekap, Habib juga mempertanyakan soal uang BCA sebesar Rp54 triliun diambil Anthony Salim.
Dampaknya, pemerintah harus menyuntik BCA sebesar Rp60 triliun.
Padahal nilai BCA ketika itu sebesar Rp87 triliun namun hanya dijual sebesar Rp5 triliun.
“Saya kira, kejadian ini patut didalami karena ada dugaan rekayasa nilai aset BCA oleh pemilik BCA,” ujarnya.
Lebih jauh, dia mempertanyakan dasar keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengejar hak negara dari para obligor dan debitur yang totalnya mencapai Rp110 triliun.
Padahal, dana BLBI yang dikemplang obligor nakal ini jumlahnya sangat besar. “Kami mempertanyakan kenapa hanya Rp110 triliun. Angkanya sangat kecil sekali,” tuturnya.
Apalagi, setiap tahun APBN dibebani pembayaran bunga BLBI Rp48 triliun. Padahal, bunga utang BLBI ini bisa menjadi dana tambahan untuk pembangunan daerah yang saat ini dialokasikan untuk penanganan Pandemi.
Hingga saat ini dari Rp110 triliun baru Rp15 triliun yang bisa ditagih hingga akhir Januari 2022. “Sangat kecil sekali yang berhasil ditagih,” tuturnya.
Meski demikian, dia mengapresiasi upaya pemerintah yang telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah BLBI. Namun langkah pemerintah terkesan lamban, kurang serius dan tidak tegas sehingga hasilnya masih sangat jauh dari yang diharapkan.
“Tentunya masalah BLBI ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi dunia perbankan Indonesia menuju masa depan,” pungkasnya.
(Rel/dpd)