JAKARTA, AmanMakmur.com —-Ketua DPD RI, AA LANyalla Mahmud Mattalitti, mengajak para pengusaha untuk membaca dan mencermati dinamika politik dan ekonomi global. Menurutnya, pengusaha tidak boleh kaget dengan pola perubahan besar dunia bisnis yang sangat cepat.
Hal itu disampaikan oleh LaNyalla saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar Business Outlook 2022 ‘Peran KADIN dalam Menghadapi Dinamika Ekonomi dan Politik Global’, Rabu (27/10). Acara itu merupakan rangkaian Pelantikan KADIN Bojonegoro 2021-2026.
“Banyak pelaku usaha tidak siap dengan perubahan yang terjadi. Maka kalau mau survive, ada satu prinsip yang harus dijalankan, yaitu adaptasi. Mulai hari ini, semua pengusaha harus mulai memikirkan roadmap adaptasi. Wajib selalu membaca dan mengikuti perkembangan pola bisnis dengan cermat. Harus bisa melihat mana yang hanya sekedar tren singkat, dan mana yang akan menjadi pola baru,” katanya.
Dijelaskan LaNyalla, sejak tahun 2015, jauh sebelum terjadi pandemi Covid, tren bisnis dan perekonomian global sebenarnya sudah berubah. Saat itu di Indonesia telah terjadi perubahan pola kerja, perubahan proses bisnis, perubahan etika kerja dan perubahan SOP dalam bekerja.
Perubahan demografi kelompok pekerja dan kemajuan teknologi menumbuhkan kelompok profesional baru yang disebut “Digital Nomad”. Kemudian istilah Virtual Office, Angelic Investor, Start Up, Unicorn dan lain sebagainya. Dimana bisnis tersebut lintas batas dan ruang karena perkembangan teknologi 5G.
“Istilah-istilah tersebut mungkin asing di telinga pebisnis model lama. Karena pebisnis lama atau investor di dunia fisik seperti saya masih berpedoman pada basis teritorial. Sehingga masih berkutat dengan istilah-istilah Tata Ruang dan Tata Wilayah, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan 3T, ZEE, dan sejenisnya,” ujar Senator asal Jawa Timur itu.
Dengan berkembangnya Digital Nomad, akibatnya landscape geopolitik juga berubah atas tuntutan perubahan aktivitas ekonomi. Dari sanalah, lanjut LaNyalla, tumbuh industri-industri baru yang valuasinya bisa lebih besar dari industri lama yang memiliki aset besar dan karyawan ribuan. Diikuti lahirnya beberapa industri dengan small team, tetapi sangat dihargai. Seperti industri kreatif perfilman dan animasi, konsultan riset, social media dan big data analisis, auditor, public relation, writer hingga web designer.
“Fenomena ini akan terus berkembang dan mengalami percepatan akibat revolusi teknologi,” sambungnya.
Selain mencermati perkembangan teknologi, LaNyalla juga mengingatkan soal bonus demografi di Indonesia yang puncaknya diprediksi pada tahun 2045. Dimana penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan penduduk dengan usia yang tidak produktif.
Pertumbuhan penduduk usia produktif diprediksi akan mencapai 64 persen dari total penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa, angkatan kerja Indonesia akan mencapai 71 persen.
“Saat bersamaan dunia juga berubah drastis. Penduduk dunia menjadi 9,45 miliar manusia. Output negara berkembang 71 persen dari total output dunia dengan Asia sebagai pendorong utama sebesar 54 persen. Perdagangan global diprediksi tumbuh 3,4 persen per tahun. Negara berkembang menjadi poros perdagangan dan investasi dunia dengan pertumbuhan 6 persen per tahun. Dominasi mata uang dunia bergeser dari dolar AS menjadi multi mata uang,” ucapnya.
“Tren perubahan teknologi didominasi oleh teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi dan rekayasa genetik, smart technology, energi terbarukan, otomasi, serta artificial intelligence,” imbuh LaNyalla.
Tantangan yang harus dicermati pengusaha selanjutnya adalah ancaman pemanasan global juga semakin besar. Jika tidak diimbangi dengan langkah dan upaya yang konkrit, maka peningkatan suhu bumi akan mencapai 3 hingga 3,5 derajat celcius. Peta geopolitik juga mengalami perubahan, dengan meningkatnya peranan China dan kerentanan di kawasan Timur Tengah, serta meningkatnya kelas baru dan kelompok tertentu di Asia.
LaNyalla menegaskan bahwa untuk memberikan kemudahan bagi dunia usaha dalam membaca peluang dan tantangan, negara juga harus hadir. Karena menjaga iklim dunia usaha dan industri tidak bisa hanya diserahkan kepada KADIN.
“Tidak bisa negara hanya memberi kemudahan berusaha, tanpa memberikan arahan dan pendampingan. Terutama bagi UMKM. Termasuk memberikan informasi yang jelas dan terukur tentang market size. Jangan dibiarkan atau malah pengusaha didorong untuk membuka sebanyak-banyaknya usaha yang sama, tetapi market size sudah terisi penuh,” katanya lagi.
Negara juga harus hadir untuk memastikan bahwa dominasi produk yang ada di marketplace bukan barang impor. Karena fakta hari ini, tegas Lanyalla, hampir semua marketplace yang ada, seperti Tokopedia, Sophie, Lazada, dan lainnya, 90 persen menjual barang impor.
“Penjualnya orang lokal, produknya impor. Ini tentu membuat prihatin, mengingat nilai transaksi belanja online kita, telah mencapai angka di kisaran 266 triliun rupiah. Dari angka itu, para penjual atau drop shipper di marketplace hanya mengambil margin dari harga jual sementara nilai tambah utamanya, ada pada produsen di luar negeri,” jelasnya.
Dengan perubahan dan situasi yang Dis-ruptif, menurut LaNyalla masih banyak yang harus dikerjakan dalam menyongsong masa depan dunia usaha dan dunia industri di Indonesia. Sehingga dalam beberapa kesempatan dirinya selalu mengungkapkan pentingnya membangun kekuatan dan kedaulatan di sektor-sektor strategis, terutama ketahanan Sektor Pangan.
“Termasuk melakukan upaya sistematis untuk menjadikan Desa, sebagai wilayah terkecil, menjadi kekuatan ekonomi. Jangan sampai kita mengalami bencana demografi, dimana saat memasuki era ledakan jumlah penduduk usia produktif, lapangan pekerjaan tidak mampu untuk menyerap,” tuturnya.
(Rel/dpd)