
Oleh: Muhammad Faizka Chai, Noli Rahma Yoni, dan Dinna Angelina
KONSEP pengelolaan kawasan hutan bagi masyarakat banyak yang menganggap selalu di “intervensi” oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan tidak adanya kepastian hukum dalam pengelolaan, dan kadang kala selalu menggerocoki masyarakat yang memanfaatkan hutan untuk kehidupan sehari-hari.
Melalui penuturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Prof Dr Ir Siti Nurbaya Bakar, MSc, yang menyatakan bahwasannya sekitar 48,8 juta jiwa menepati lahan hutan negara, dan 10,2 juta jiwa di antaranya dikategorikan miskin, dimana 71,06% menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.
Sedangkan untuk Provinsi Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (SK MenLHK No SK. 6599/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021), pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat memiliki kewenangan untuk mengelola sebesar 2.286.228,57 Ha kawasan hutan, atau jika dikalkulasikan sebanyak 54,42 persen wilayah Provinsi Sumatera Barat didominasi dengan kawasan hutan.
Dalam hal ini, menurut data BPS pada tahun 2020, sebanyak 950 Desa/Nagari di Provinsi Sumatera Barat berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Maka seyogyanya hampir 81,97 persen populasi masyarakat di Provinsi Sumatera Barat memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupan.
Sejatinya hutan berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan (Live Supporting System), serta sebagai kontributor penyedia pangan (Forest for Food Production). Bila dikompilasi dan diramu secara holistik kedua fungsi tersebut mengisyaratkan perlindungan dan pemanfaatan kawasan hutan harus menjadi prioritas pertama bagi pemerintah terutama untuk masyarakat.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hadir menjadi landasan dalam perlindungan dan pemanfaatan kawasan hutan yang berkeadilan.
Dalam perjalanannya UU No 41 Tahun 1999 sebagai umbrella of law atau payung hukum dalam mengkoordinir pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan untuk pemberdayaan masyarakat masih dihadapkan dengan beberapa persoalan.
Penebangan liar atau illegal logging, pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat, hingga pemanfaatan kawasan hutan sebagai perkebunan oleh masyarakat merupakan sebagian besar permasalahan yang timbul dari pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat.
Sehingga pada akhirnya terjadi benturan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat yang berujung pada konflik berkepanjangan.
Menilik kerangka berpikir terhadap pemberdayaan masyarakat erat kaitannya dengan dua konsep utama yaitu konsep daya (power) dan konsep ketimpangan (disadvantage).
Memaknai power dan konsep disadvantage sebagai sebuah hubungan vertikal antara pemerintah dan masyarakat, dalam hal pemberdayaan merupakan sekelumit persoalan yang sulit untuk diuraikan. Pasalnya terdapat beberapa tantangan bagi pemerintah dalam melakukan pemberdayaan terhadap hak-hak masyarakat terhadap kawasan hutan.
Tantangan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat terhadap pemanfaatan kawasan hutan terletak pada aspek pokok yakni perlindungan hukum atau kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan. Karena, hal tersebut selalu menjadi indikator tercapainya keberhasilan terhadap pemberdayaan, sebab salah satu langkah tepat dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat adalah pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya dalam memanfaatkan kawasan hutan.
Kehadiran kebijakan perhutanan sosial merupakan jawaban dalam mengatasi tantangan tersebut. Jika diamati secara kaffah norma-norma yang termuat di dalam Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, pemerintah hendak terjun langsung memberikan legitimasi bagi masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan.
Gagasan tersebut termuat dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Melalui Pasal 2 Ayat (2) Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, menyatakan bahwasannya Perhutanan Sosial sendiri memiliki tujuan untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut memuthakirkan fungsi dari perhutanan sosial semata hanya untuk menyelesaikan tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan.
Selanjutnya pada Pasal 3 Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, menyuarakan bahwasannya pelaksanaan kebijakan perhutanan sosial tidal terlepas dari beberapa prinsip yaitu: keadilan, keberlanjutan, kepastian hukum, partisipasipatif, dan bertanggug gugat.
Prinsip-prinsip tersebut senada dengan gagasan pemberdayaan masyarakat terhadap pemanfaatan kawasan hutan. Pasal 4 Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, membagi perhutanan sosial menjadi ke dalam beberapa skema yang selanjutnya disebut dengan skema perhutanan sosial.
Skema yang diatur oleh Perhutanan Sosial ini di antaranya; Pertama, Hutan Desa (HD), yakni hutan negara yang dalam pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa yang bertujuan untuk mensejahterakan suatu desa. Kedua, Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan sebagai hutan negara yang mana pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar agar terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yakni Hutan Produksi yang dibangun oleh sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan potensi dari hutan produksi dengan menerapkan Silvikultur agardapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan.
Keempat, Hutan Adat (HA) adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara.
Kelima, Kemitraan Kehutanan atau disingkat dengan sebutan (KK) merupakan adanya kerjasama antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelolaan hutan, seperti Pemegang Izin Usaha Pemenfaatan Hutan, Jasa hutan Izin Pinjam Pakai kawasan hutan atau Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.
Pembagian skema perhutanan sosial tersebut ditujukan pemerintah untuk memberikan akses legal bagi masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan. Sehingga, tujuan dari pemberdayaan masyarakat dapat sepenuhnya tercapai. *)
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Unand