JAKARTA, AmanMakmur –— Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan para cendekiawan harus punya ruang dan kesempatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Sehingga sudah seharusnya Indonesia mengembalikan demokrasi Indonesia yang saat ini digenggam elit kepada kaum intelektual dan cendekiawan yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.
“Karena mereka inilah para hikmat yang memiliki kebijaksanaan. Mereka inilah yang harus ditimbang pendapatnya dalam musyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa,” ujar Ketua DPD LaNyalla dalam Dialog Kebangsaan Orwil ICMI Jatim di Kadin Institute Jawa Timur di Surabaya, Minggu (17/9/2023).
LaNyalla menjelaskan bahwa pendiri bangsa ini adalah mereka kaum intelektual, cendekiawan, termasuk tokoh-tokoh agama yang taat. Mereka adalah golongan orang-orang yang etika, moral dan budi pekerti luhurnya tidak perlu diragukan.
Namun pada praktik demokrasi saat ini yang hanya diisi melalui pemilihan umum memiliki kelemahan mendasar. Karena itu, sistem bernegara rumusan pendiri bangsa membuka ruang di MPR bagi mereka yang diutus. Salah satunya Utusan Golongan. Sehingga menjadi demokrasi yang utuh sebagai wadah kedaulatan rakyat.
“Sebab, jika hanya melalui pemilu, tidak mungkin ada ruang bagi cendekiawan atau Ulama salaf misalnya, karena batu uji pemilu menggunakan ukuran popularitas dan elektabilitas,” kata LaNyalla.
“Apakah para Profesor di kampus atau ulama salaf yang tidak populer harus ikut-ikutan melakukan fabrikasi popularitas melalui media massa dan media sosial? Tentu akan semakin rusak bangsa ini. Karena popularitas sama sekali tidak ada hubungannya dengan etika, moral dan akhlak,” tambahnya.
Karena itu, jelas LaNyalla, pihaknya menggulirkan proposal kenegaraan dalam kerangka menyempurnakan dan memperkuat sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa.
Terdapat lima hal dalam proposal kenegaraan yang ditawarkan DPD RI untuk menyempurnakan dan memperkuat sistem rumusan pendiri bangsa. (lebih lengkap lihat grafis di bawah).
Lebih lanjut Senator asal Jawa Timur ini mengatakan proposal kenegaraan DPD juga sejalan jika dilihat dari perspektif Ke-Indonesiaan. Bahwa Indonesia lahir dari negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang telah menghuni kepulauan Nusantara ini. Sehingga Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara homogen atau single RAS di Barat dan Timur. Juga berbeda dengan Amerika dan Australia, yang berasal dari bangsa pendatang yang menduduki.
“Inilah mengapa, para pendiri bangsa berpikir serius untuk menemukan suatu asas dan sistem bernegara yang paling sesuai untuk Indonesia. Asas dan sistem yang digali dari nilai-nilai asli bangsa nusantara ini, untuk dapat mengikat dan menyatukan negara yang super majemuk ini, melalui nilai-nilai yang sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara yaitu Pancasila,” ujar LaNyalla.
Pancasila digali lewat pikiran jernih dan niat luhur, sebagai falsafah dasar bangsa ini. Sekaligus sebagai norma hukum tertinggi yang menjadi identitas konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dirumuskan menjadi asas dan sistem demokrasi Pancasila yang di dalamnya mengatur sistem bernegara Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila.
“Sehingga hakikat kedaulatan rakyat benar-benar terukur dengan jelas di dalam ketatanegaraan kita. Bukan sistem bernegara yang ditentukan oleh partai politik saja. Atau oleh Presiden terpilih saja. Tetapi benar-benar sistem yang utuh. Inilah sistem majelis syuro. Yang dilekatkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara, tempat seluruh elemen dan komponen bangsa berada,” lanjut LaNyalla.
Selanjutnya dari perspektif Ke-Islaman. LaNyalla menjelaskan, secara fundamental sudah sangat jelas bahwa falsafah dasar bangsa dan negara ini menyebutkan terminologi Ketuhanan. Karena itu, sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta nilai agama.
Ia menyadari bahwa Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945 saat itu dibuat dalam suasana mendesak dan masih bersifat revolusioner. Sehingga perlu disempurnakan dan bukan diganti menjadi sistem bernegara yang sama sekali baru dan asing.
La Nyalla mengatakan, yang terpenting adalah harus terbangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk kembali kepada Fitrah Indonesia. Untuk kemudian seluruh elemen bangsa mendorong semua lembaga negara, termasuk ormas-ormas besar dan TNI-Polri serta partai politik, agar segera melahirkan Konsensus Nasional untuk mendesak MPR menggelar Sidang MPR dengan agenda tunggal.
“Yakni mengembalikan konstitusi Indonesia sesuai Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 untuk kemudian dilakukan amandemen penyempurnaan dan penguatan melalui teknik Adendum,” ujar LaNyalla.
Ketua ICMI Jawa Timur Ulul Albab mengucapkan terima kasih atas acara yang berhasil digelar tersebut. Ulul berharap dialog ini bisa memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi umat dan bukan hanya sebatas wacana yang muncul. “Dan ini bisa menjadi kajian akademik kami sebagai cendekiawan. Yang jelas manfaatnya pasti untuk masyarakat dan umat kita. Terima kasih pak Nyalla atas kehadiran dan atensinya,” kata Ulul Albab.
Pengamat Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy yang juga menjadi salah satu narasumber acara tersebut mengatakan, sangat cocok dengan proposal kenegaraan yang diusung oleh DPD RI. Noorsy membahas terkait dengan unsur golongan atau unsur perseorangan yang ada di proposal DPD RI.
“Saatnya wakil kelompok dalam kehidupan atau golongan seperti ICMI ikut memperbaiki arah perjalanan bangsa. Tapi mereka jangan di jalur politik, melainkan utusan golongan.
“Penentuannya adalah siapa wakilnya, putuskan di internal ICMI.
Cara memilihnya sangat mudah, syaratnya secara umum dengan melihat general personal indeks. Indeks yang diutus oleh ICMI nanti sudah punya datanya. Sudah punya track recordnya, jadi bukan orang sembarangan. Begitu juga perwakilan perwakilan lainnya. Saya yakin negara kita selamat kalau amandemen UUD 45 segera dieksekusi,” kata Noorsy.
Nara sumber yang lain, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi menambahkan, proposal kenegaraan DPD RI adalah sebuah solusi agar rakyat kembali menjadi penguasa. Karena, dengan proposal kenegaraan DPD RI, maka fungsi rakyat akan menjadi penjelmaan nyata.
“Proposal DPD perlu di dukung. Perbaikan Konstitusi harus dengan cara adendum. Karena untuk menguasai negara ini demi kebaikan adalah dengan cara kuasai politiknya, kuasai ekonominya dan kuasai pemerintahannya. Jangan sampai partai politik tunggal yang berkuasa, karena secara teori politik, hanya ada di Indonesia koalisi partai dilakukan sebelum Pilpres dan hanya di Indonesia ada partai mendaftarkan calon dari kader partai lain,” tandasnya.
Salah satu penanggap di acara tersebut,
Chairul Jaelani mengatakan, semoga apa yang sudah dibahas di acara dialog kebangsaan tersebut bisa menjadi manfaat untuk orang banyak. “Ini semua harus ada gerakan. Jangan hanya ada di Sidang Paripurna Sidang Paripurna saja. Jangan hanya ada di workshop atau seminar saja. Harus ada tindakan yang baik. Harus segera pikirkan gerakan strategis apa untuk proposal kenegaraan ini,” ujar pria yang juga salah satu pemimpin Gerakan Bela Negara Jawa Timur itu.
Dalam acara tersebut, LaNyalla didampingi Senator asal Aceh Fachrul Razi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, dan Pegiat Konstitusi, dr Zulkifli S Ekomei, Ir Prihandoyo dan Prof. Daniel M Rosyid.
Dari pihak tuan rumah, hadir Ketua Orwil ICMI Jatim Ulul Albab, Wakil Ketua Hesti Armiwulan, juga jajaran Dewan Penasihat dan Dewan Pakar ICMI Jawa Timur. Hadir pula Ketua Kadin Jatim Adik Dwi Putranto dan Ketua Kadin Kota Surabaya Muhammad Ali Affandi.
5 Proposal DPD RI:
Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 proposal penyempurnaan dan penguatan azas dan sistem bernegara Pancasila yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
(Rel/dpd)