Oleh: @hniyus @hmad
(Pengamat Sosial dan Politik)
PESTA demokrasi semakin mendekati, kontestasi pemilihan calon pemimpin negeri sudah memasuki atmosfir dukung mendukung dan jatuh-menjatuhkan.
Pemandangan yang selalu berulang sejak demokrasi dicanangkan yang dititipkan kepada sebagian elit bangsa yang dengan rela telah meninggalkan era monarkhy yang pernah mencatat sejarah panjang kejayaan kerajaan dan kesultanan di se-antero Nusantara sejak dahulu kala yang wilayah cakupannya menembus batas wilayah yang sekarang di sebut sebagai Indonesia.
Terjadinya transisi kedaulatan ini ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan terakhir ummat Islam yang bernama Utsmani di negeri Turky.
Sejak saat itu ummat Islam seperti anak ayam kehilangan induk dan sejak saat itu pula-lah kedaulatan berbangsa dan bernegara telah dipertaruhkan karena sejarah panjang perjuangan yang melelahkan telah dihadapkan kepada tawaran atas sebuah kata yang bernama “Kemerdekaan” dengan makna “Kebebasan” yang merupakan ideologi kiriman dari bangsa penjajah dalam rangka menjaga eksistensi supremasi mereka di atas bumi jajahannya yang tidak pernah dengan rela mereka lepaskan sejak pertama kali kuku itu ditancapkan.
Keruntuhan peradaban Islam adalah awal kebangkitan Tatanan Dunia Baru (NWO) di bawah komando yang secara umum di sebut sebagai Elite Global yang secara khusus dikendalikan oleh tangan tersembunyi (The Invisible Hand) yang memiliki kemampuan menggerakan banyak tangan di wilayah-wilayah jajahannya tanpa disadari oleh bangsa terjajah yang mengira diri telah merdeka.
Terkait semakin dekatnya “pesta demokrasi”, ya.. ini memang sebuah pesta bagi mereka yang “menangguk di air keruh” dan yang telah kehilangan rasa berbangsa, rasa bernegara, rasa se-aqidah, seiring lahirnya nilai baru bernama materialisme yang semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan dan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan yang telah mendekatkan karakter berbangsa kepada watak hedonisme.
Lihatlah sebentar lagi, jurus transaksi akan mendominasi atas nama sosialisasi untuk menonjolkan diri sambil berkata; saya-lah yang pantas menduduki kursi !
Sebuah ironi yang telah terjadi akibat salah memahami tentang arti tanggung jawab dari amanah yang di beri dan tanpa disadari sebenarnya akan menjadi beban bagi diri.
Di sisi lain masyarakat sebagai lumbung suara pada umumnya juga hanyut dalam euforia untuk memberikan dukungan yang dasarnya adalah asal ada uang dan tak peduli kepada siapa kelak nasib ini digantungkan setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Fakta di lapangan, kandidat yang ditawarkan seperti daftar menu di restoran yang harus di pilih oleh pelanggan karena mereka harus makan walaupun pilihan menu yang tersedia belum tentu cocok dengan selera.
Begitulah realita saat diselenggarakannya pesta yang hasilnya dari satu era rezim ke era rezim berikutnya bukannya membawa kebaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi justru sebaliknya.
Pada akhirnya rakyat harus tetap memilih karena tidak mau di cap sebagai pembangkang dengan pertimbangan mana yang paling sedikit mudharatnya.
Atau rakyat di paksa untuk menerima kandidat yang dimenangkan oleh tangan penguasa yang memiliki dua kunci utama yaitu KPU sebagai alat penghitung suara dan MK sebagai legalitas hukum yang akan menjadi cap resmi bahwa demokrasi telah berjalan sesuai aturan.
Bagi elemen masyarakat yang tidak mau terseret ke dalam kejahilliyahan sistem yang diterapkan, hanya tersisa dua pilihan; satu berlepas diri, dua memampukan diri untuk mengambil alih ! *)