JAKARTA, AmanMakmur.com – DPD RI bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB menyelenggarakan Seminar Uji Sahih Revisi Terbatas UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Kamis (17/2), bertempat di Gedung EDCT PKSPL, Kampus IPB Barangasiang, Bogor.
Dalam kegiatan yang digelar secara hibrid tersebut, Wakil Ketua I DPD RI Nono Sampono menyatakan kegiatan ini adalah bagian dari tanggung jawab DPD RI terkait pelaksanaan fungsi legislasi serta wewenang dan tugas DPD RI perihal pengajuan RUU.
Nono Sampono mengatakan, DPD RI melihat sistem keamanan kelautan Indonesia belum maksimal dilakukan. Dibentuknya keamanan laut sebagai extraordinary ternyata ada hak yang belum diberikan kepadanya. Keamanan laut ada berbagai komponen yang terlibat ada Undang-Undang sekitar 17 yang berangkat dari sektor masing-masing.
“Dalam Undang-Undang Nomor 32 ini kami ingin mengatur kembali, menata kembali agar berada dalam satu koordinasi yang baik,” ucapnya.
Ia menambahkan, sistem keamanan laut dipayungi Undang-Undang, khusus Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 ini menurut Kementerian Hukum dan HAM sebagai payung hukum dari hukum hukum yang ada dan revisinya sangat terbatas.
Sementara itu, Anggota DPD RI Badikenita BR Sitepu mengatakan, dalam FGD tersebut satu langkah dalam penyusunan Undang-Undang, karena ini revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan untuk melakukan revisi sangat terbatas, agar kewenangan Bakamla dapat diperkuat.
“Dan kalau tidak lebih dari 10 persen pasal nya kita masukan dalam revisi sangat terbatas. Ada situasi yang berkembang di dunia internasional dengan koordinasi di nasional memerlukan revisi untuk menyempurnakan hasil Undang Undang keamanan laut,” ucapnya.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan sudah seharusnya negara hadir di Perairan Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Kehadiran itu bisa diwakili aparat pemerintah maupun nelayan sebagai simbol negara.
Kabakamla Aan Kurnia juga menambahkan bahwa dengan revisi terbatas ini diharapkan membuat sistem lebih simpel, sehingga diperlukan sistem pelaporan terpusat dalam proses menanganan permasalahan di laut.
Pakar Kemaritiman yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 75% wilayahnya berupa laut dengan posisi geografis strategis dan kekayaan SDA lautnya yang melimpah, Indonesia menyimpan berbagai potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) keamanan di wilayah laut, baik berasal dari dalam maupun luar negeri.
“Upaya mengatasi ATGH keamanan kelautan di Indonesia telah dilakukan melalui pembentukan berbagai regulasi dan institusi yang menangani keamanan kelautan,” ujar Rokhmin Dahuri.
Menurut Prof Rokhmin penanganan keamanan dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia hingga kini tidak efektif karena banyaknya regulasi terkait dan institusi sektoral yang memiliki kepentingan masing-masing dimana setidaknya, terdapat 17 UU yang mengatur mengenai keamanan kelautan, dengan melahirkan 13 lembaga penegak hukum di laut.
Prof Rokhmin Dahuri menyayangkan lemahnya pemerintah dalam mengatur organisasi yang bertanggung jawab dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar dimana terlalu banyak instansi yang terlibat, mengakibatkan fokus pengelolaan tidak terkontrol, sehingga instansi akan berjalan sesuai kepentingan masing-masing.
Disamping itu, karena keterbatasan sumber daya. Anggaran yang masih menyebar di kementerian lembaga menyebabkan pembangunan tidak fokus. Pemerintah daerah pada dasarnya dapat berperan bersama dalam mengembangkan pulau kecil terluar sehingga pulau kecil terluar dapat dijadikan objek wisata laut dengan berbagai macam potensi yang dimiliki.
“Land management untuk pulau-pulau kecil terluar belum jelas. Pengaturan dalam kepenguasaan dan pemilikan tanah, luas tanah secara keseluruhan, bahkan kerancuan antar lembaga pemerintah membuat land management menjadi terhambat dan tidak jelas,” tutup Rokhmin Dahuri.
(Rel/dpd)