JAKARTA, AmanMakmur.com —Komite III DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka inventarisasi materi penyusunan RUU perubahan atas UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, Selasa (18/1), bertempat di Ruang Padjajaran.
Rapat tersebut menghadirkan dua pakar dari Pusat Kajian Perlindungan Sosial & Ketenagakerjaan UI sekaligus Guru Besar Hukum Perburuhan UI, Aloysius Uwiyono dan Peneliti Klaster SDM dan Ketenagakerjaan Pusat Riset Kependudukan BRIN, Nawawi.
Pimpinan Komite III Dedi Iskandar Batubara menyatakan bahwa UU tentang Serikat Pekerja menyisakan banyak anomali.
“Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000, merupakan undang-undang yang memberikan peluang paling mudah bagi lahirnya serikat buruh. 10 orang saja sudah memenuhi syarat untuk mendirikan serikat buruh. Anehnya, meskipun peluang untuk mendirikan serikat buruh sangat mudah, buruh tetap terlihat mengalami kesulitan dalam upaya menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan mereka. Oleh karena itu, setelah berusia lebih dari dua dasawarsa, sekarang merupakan waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi yang komprehensif teradap norma dan pasal dalam undang-undang tentang serikat buruh, supaya bisa dilakukan revisi, dan menghasilkan regulasi yang lebih baik dan mengakomodir kepentingan buruh dan pengusaha,” ujar Dedi Iskandar.
Tampil sebagai pembicara pertama, Aloysius Uwiyono menjelaskan bahwa UU Nomor 21 tahun 2000 ini memang masih berparadigma konflik, bukan berparadigma kemitraan. Berpotensi mengadu domba antara buruh dan pengusaha, memperlemah posisi serikat buruh di depan pengusaha, bahkan membuat buruh terlihat sebagai trobel maker yang memusuhi pengusaha.
“Paradigma yang terbangun dalam UU Nomor 21 tahun 2000 harus diubah. Relasi yang harus dikembangkan antara buruh dan pekerja harus berdasarkan pada prinsip-prinsip demokratis, kemitraan, dan keterbukaan. Tujuannya, supaya tercipta hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha, buruh, dan organisasi buruh,” jelasnya.
Sementara itu, Peneliti BRIN, Nawawi secara lebih rinci mengutarakan tiga alasan untuk menjustifikasi urgensi untuk segera merevisi UU tentang serikat buruh. Yaitu alasan historis, alasan substanstif, dan alasan kontemporer.
“Yang saya maksud alasan historis adalah, undang-undang ini lahir di masa pergantian rezim yang disusun dengan sangat cepat, dan sangat kental dengan campur tangan lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, ILO, dan lain-lain. Alasan substantif adalah norma-norma pasal dalam UU saat ini sangat lentur. Contohnya aturan tentang pendirian serikat pekerja yang terlalu mudah. Akibatnya, banyak lahir organisasi serikat buruh. Sedangkan alasan kontemporer adalah, undang-undang ini sudah memerlukan harmonisasi dengan ragam peraturan perundang-undangan yang lebih baru, serta perlu dimasukkan norma yang menyangkut perlindungan buruh, pekerja kontrak, sistem outsourcing, keanggotaan BPJS, dan lain-lain,” ujar peneliti yang pernah magang setahun di Partai Buruh Inggris.
Paparan dari kedua narasumber mendapatkan respon antusias dari para anggota anggota dewan. Keduanya dihujani dengan beragam pertanyaan yang kritis dan tajam. Salah satunya dari Misharti, yang menyoroti pasal 5 – pasal 10 UU Nomor 21 tahun 2000 yang dinilai terlalu mudah memberikan kesempatan bagi pendirian serikat buruh.
“Pembentukan serikat buruh memang penting untuk dijadikan wadah dan media advokasi bagi para buruh. Tapi persoalan yang lebih penting dan lebih esensial adalah, bagaimana cara memberdayakan dan meningkatkan kualias dan kapasitas buruh sehingga menjadi lebih produktif dan punya daya saing tinggi,” tegas Senator dari Provinsi Riau.
Sementara itu, Senator asal Bengkulu, Eni Khairani menggaris bawahi agar inisiasi perubahan UU Nomor 21 tahun 2000 harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Undang-undang ini sangat sensitif. Mungkin itulah salah satu faktor yang menyebabkan undang-undang ini nyaris tidak tersentuh selama dua puluh tahun lebih. Saya sepakat undang-undang ini direvisi. Namun harus dilakukan dengan hati-hati dan betul-betul memperhatikan keseimbangan antara kedua pihak, yaitu pekerja dan pengusaha. Hal itu untuk menepis kecurigaan adanya agenda atau titipan dari pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan untuk merevisi undang-undang ini,” pungkasnya.
(Rel/dpd)