JAKARTA, AmanMakmur.com — Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menjelaskan jika Demokrasi Pancasila berbeda dengan Kapitalisme di Barat atau Komunisme di Timur.
Menurutnya, ciri Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara.
Hal tersebut disampaikan LaNyalla dalam Diskusi Nasional Amandemen UUD 1945, Kerjasama DPD RI bersama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/12).
LaNyalla menjelaskan, Demokrasi Liberal di Barat bersifat Sekularistik dan Liberalistik. Sedangkan Komunisme atau Sosialisme, lahir dari perlawanan rakyat terhadap kaum Tuan Tanah dan kelompok Borjuis yang berlindung di balik pemerintah.
“Demokrasi Pancasila sangat berbeda. Karena, Permusyawaratan Perwakilan menjadi jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai makhluk yang berfikir dengan keadilan,” katanya.
Hal itulah yang membuat semua elemen bangsa menjadi pemilik kedaulatan utama dalam sebuah Lembaga Tertinggi dalam Demokrasi Pancasila.
“Pada konstitusi Indonesia yang asli, sebelum dilakukan Amandemen pada tahun 2002, MPR menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Karena, MPR adalah perwujudan Kedaulatan Rakyat dari semua elemen bangsa ini. Baik itu elemen Partai Politik, Elemen Daerah-Daerah, dan Elemen Golongan-Golongan,” katanya.
Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke.
“Harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya. Harus pula ada wakil dari golongan-golongan, seperti etnis tertentu sebagai unsur kebhinekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara,” katanya.
Termasuk juga perwakilan ulama dan rohaniawan, cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya.
“Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, semuanya terwakili. Sehingga menjadi Demokrasi yang berkecukupan. Karena semua terwakili. Tanpa ada yang terpaksa ditinggalkan, seperti demokrasi barat,” terangnya.
LaNyalla menerangkan, semua elemen yang kemudian disebut dengan Para Hikmat tersebut, bermusyawarah mufakat untuk menentukan arah perjalanan bangsa.
“Sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk diberi mandat dalam menjalankan roda pemerintahan,” tuturnya.
Dijelaskannya, hal tersebut menjadi prinsip Syuro dalam sistem tata negara Indonesia yang asli, atau DNA asli bangsa Indonesia.
“Prinsip Syuro ini diadopsi dari Sistem Islam. Karenanya saya mengingatkan kita kepada Surat Al-Baqarah Ayat 177, yang menyatakan bahwa Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah,” urainya.
LaNyalla mempertegas jika tidak ada satu tesis pun yang menyebutkan Pancasila bertentangan dengan Islam.
“Karena nilai-nilai Islam terdapat di dalam Pancasila. Dan harus diingat, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 Ayat (1).
“Kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama. Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar Konstitusi,” katanya.
Kegiatan ini dihadiri Wakil Ketua 1 DPD RI Nono Sampono, serta sejumlah senator, yaitu Sylviana Murni (DKI Jakarta), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Bustami Zainudin (Lampung), Abdul Hakim (Lampung), Sukiryanto (Kalbar), dan Sudirman (Aceh), Angelius Wake Kako (NTT), Leonardy Harmainy (Sumbar) dan Darmansyah Husein (Babel).
Narasumber kegiatan adalah Rektor UINSA Masdar Hilmy, Staf Ahli Jaksa Agung Jan S Maringka, dan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
(Rel/dpd)