HAKIKAT sebuah pesan sangatlah penting. Tak bisa diabaikan. Jika kita menginginkan sesuatu, maka pesan yang dikirim harus jelas, pasti dan mudah dipahami. Pesan yang disampaikan keliru, maka jangan pernah berharap, apa yang diinginkan akan bisa dipahami orang lain.
Tak salah kalau kemudian disimpulkan, kegagalan utama dari sebuah komunikasi disebabkan oleh kekeliruan terhadap pesan yang disampaikan.
Kalau pun sesungguhnya ada tiga komponen lain dalam komunikasi, yakni penyampai atau pengirim pesan (komunikator), orang yang menerima pesan (komunikan) dan sarana pengirim pesan (media), namun isi pesan sesungguhnya sangatlah penting.
Sehebat apa pun media pengirim pesan. Paling canggih, paling cepat atau malah melebihi kecepatan cahaya, namun jika pesan yang dikirimnya sudah keliru dari awal, tetap saja orang yang menerima pesan berada dalam posisi mendapatkan pesan yang keliru. Tak akan mungkin pesan itu berubah sedemikian rupa.
Kalau pun komunikator yang mengirimkan pesan adalah orang terhebat, paling jenius di bumi dan planet mana pun, namun jika pesan yang disampaikannya sudah keliru, tetap saja orang-orang yang menerima pesannya akan keliru menanggapi, memaknai dan menyikapi pesan tersebut.
Kekeliruan terhadap pesan ini, ternyata, dari hari ke hari, terus juga terjadi. Kalau pun ada perbaikan, pergerakannya tidak secepat derap langkah pergerakan orang-orang yang terus melek media.
Saat ini, setiap saat, hampir semua orang selalu berurusan dengan pesan untuk berkomunikasi. Semua pesan itu, tak lagi sekadar konsumsi pribadi, tetapi sudah mengisi seluruh ruang publik.
Ruang publik yang diisi tersebut, di antaranya meliputi media sosial (di antaranya facebook, twitter, instagram, path, dan sebagainya) dan media massa (antara lain; media cetak, televisi, radio, online, media luar ruang dan lain-lain).
Kehadirannya bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan, sementara kemampuan SDM pengelolanya untuk perbaikan kualitas sesuai standar, justru bergerak tertatih-tatih.
Ketika Firdaus Abie meminta saya untuk memberikan kata pengantar pada bukunya; Logika Bahasa Berita (Kritik Atas Penggunaan Bahasa dalam Kegiatan Jurnalistik), saya langsung menyatakan kesediaan.
Judulnya saja sudah memberikan keyakinan kepada saya, inilah buku yang pantas dimiliki agar bisa dijadikan sebagai “rel” bagi kita untuk melihat bagaimana kondisi berbahasa dan berkomunikasi kita sehari-hari.
Saya juga yakin. Firdaus Abie memiliki kapasitas. Selain dikenal sebagai wartawan yang konsisten di dunianya, ia juga lulusan jurusan komunikasi, sehingga mampu menyinkronkan kesehariannya sebagai praktisi dengan keilmuannya di komunikasi.
Setelah naskahnya saya baca berulang, banyak catatan penting dalam dunia jurnalistik dan pesan dalam berkomunikasi yang selama ini tidak terungkap, justru dibuka secara “telanjang” dengan dalil dan penjabaran yang baik.
Tak berlebihan pula jika kemudian buku ini layak dijadikan sebagai pegangan untuk melihat persoalan kekeliruan berbahasa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Media yang dimaksud dalam buku ini, tak hanya media massa, tetapi juga media sosial. *)
Penulis adalah Komisioner KPI Pusat, dan Doktor Ilmu Komunikasi