
Oleh: Isa Kurniawan
RIUH rendah akan adanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 24 November 2024 yang akan datang ternyata tidak memengaruhi para perempuan di Sumbar —untuk ikut serta di dalam kontestasinya.
Sementara yang lain sudah mulai kasak kusuk untuk tampil dan berniat ikut kontestasi, tapi perempuan Sumbar nyaris tak terdengar.
Beda dengan Pemilu Legislatif (Pileg), yang aturannya 30% caleg itu harus perempuan, sementara Pilkada tidak mengatur itu.
Dalam catatan saya, sampai saat ini, belum satu pun perempuan Sumbar yang pernah menjadi kepala/wakil kepala daerah —dari Pilkada.
Kalau di tempat lain, jangan disebut. Di Aceh pun perempuan pernah menjadi kepala daerah. Apalagi di Jawa, dan daerah lainnya di Indonesia.
Untuk legislatif sudah banyak. Mulai dari DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai DPR RI dan DPD RI. Malahan untuk DPD RI periode mendatang, dari 4 utusan Sumbar, 2 orang adalah perempuan (50%), yakni Emma Yohana dan pendatang baru Cerint Iralloza Tasya.
Sementara untuk DPR RI, dari 14 ada 4 orang perempuan, atau 29%. Dulu 4, periode mendatang juga 4. Yakni; Lisda Hendrajoni, Athari Gauthi Ardi, Nevi Zuairina, dan Rezka Oktoberia digantikan oleh Cindy Monica Salsabila Setiawan.
Bukan tidak pernah perempuan di Sumbar ikut kontestasi Pilkada. Sebutlah Emma Yohana (Calon Walikota) pernah ikut di Pilkada Padang, Betty Shadiq (Calon Bupati) di Pilkada Tanah Datar, dan Rahmi Brisma (Calon Wakil Walikota) di Pilkada Bukittinggi. Tapi ya itu, nasib belum berpihak kepada mereka.
Jadi, sebenarnya publik masih menunggu, siapa perempuan Sumbar yang mampu memecahkan rekor; menjadi kepala, atau wakil kepala daerah melalui kontestasi politik, atau Pilkada.
Tapi melihat gelagat seperti saat ini, jauh panggang dari api. Bisa jadi sampai Lebaran Kuda tidak akan ada perempuan Sumbar yang menjadi kepala/wakil kepala daerah.
Ini menjadi peer bagi kita semua, khususnya para perempuan. Kenapa ketika Pilkada keikutsertaan perempuan Sumbar menjadi kontestan melemah. Why?
Untuk masalah kepemimpinan, banyak perempuan Sumbar yang mampu menjadi kepala/wakil kepala daerah, tetapi menuju ke sana tentu butuh proses (politik).
Benar. Ikut Pilkada itu tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi menyangkut finansial.
Kemudian bagi perempuan Minang, kendala “tidak ada perempuan yang menjadi penghulu/kepala kaum” dan “tidak mungkin perempuan menjadi imam (salat)”, selalu menjadi momok. Padahal persoalan ini menyangkut kepemimpinan sosial, bukan adat maupun agama.
Semua itu adalah tantangan. Maka dari itu; Bersatulah wahai perempuan Sumbar. Merdeka!!! *)
Penulis adalah Koordinator Kapas (Komunitas Pemerhati Sumbar)
