
Oleh: Isa Kurniawan
BEBERAPA berita mengenai Ranah Minang belakangan ini membuat kita terkesima. Ada sebagian beranggapan bahwa kita merasakan betapa telah runtuhnya nilai-nilai budaya yang selama ini diagung-agungkan.
Khusus mengenai masalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), hal ini semakin menambah buramnya wajah budaya Minangkabau (Minang).
Terjadinya degradasi budaya Minang ini sebenarnya sudah lama tercium. Malahan budayawan Edy Utama mengakui hal itu. Etnis Minang sudah lama mengalami kebangkrutan budaya. Tidak saja pasca PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958-1961, tetapi juga semasa Orde Baru.
Menurut Si Bung –sapaan akrab Edy Utama– pengaruh eksternal politik nasional yang merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Minang merupakan faktor luar yang sangat berpengaruh dan mempercepat terjadinya kebangkrutan budaya Minang.
Sementara, akademisi Unand Emeraldy Chatra mengungkapkan bahwa kebangkrutan budaya Minang itu salah satunya ditandai dengan sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi orang Minang, dan lebih suka disebut orang Melayu, atau identitas lain selain Minang.
Yang parah adalah ketika ada yang mengaku tidak lagi orang Minang, maka ketika itulah –menurut mereka– tidak berlaku aturan-aturan sebagai orang Minang, yang menganut prinsip matrilineal, serta Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Kemudian, terjadilah hal-hal yang bertentangan dengan prinsip tadi. Mereka menjadi patrilineal yang bisa sesuka hati untuk menjual Harta Pusaka Tinggi (HPT), dan hidup tanpa ABS-SBK, tanpa nilai-nilai Islami.
Kita pernah mendengar adanya kasus ASN (Aparatur Sipil Negara) yang atheis (tidak ber-Tuhan), tertangkapnya para gadis penari striptis (telanjang bulat), pelecehan terhadap anak dan perempuan yang menjadi-jadi, sampai diperkosa dan dibunuh, dan banyak perbuatan lainnya yang bertentangan dengan budaya Minang, atau agama Islam.
Penting menjadi perhatian, sekarang untuk kasus LGBT –secara etnis– orang Minang berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Di Sumbar, populasinya termasuk yang terrtinggi di Indonesia.
Apa akal lagi? *)
Penulis adalah Koordinator Kapas (Komunitas Pemerhati Sumbar)