JAKARTA, AmanMakmur —Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menyelenggarakan kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah terkait tata kelola pemerintahan desa, bertempat di Ruang Rapat Sriwijaya, Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Acara ini digelar dengan tujuan untuk mendapatkan pandangan dan masukan secara komprehensif dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), terkait konstruksi pusat-daerah dalam pemberdayaan masyarakat dan desa, tata kelola pemerintahan desa, regulasi dan kebijakan dalam pembangunan desa termasuk partisipasi masyarakat, pengelolaan dan pengawasan dana desa.
“BULD sendiri merupakan salah satu alat kelengkapan di DPD RI yang semakin menunjukkan eksistensi maupun peranannya di daerah, sebagai lokomotif dan motor penggerak dalam kerangka harmonisasi legislasi pusat-daerah,” kata Ketua BULD DPD RI Stefanus B.A.N. Liow dalam pembukaan RDPU yang didampingi oleh Wakil Ketua II BULD DPD RI Abdul Hamid dan Wakil Ketua III BULD DPD RI Agita Nurfianti.
Lanjut Stefanus, kegiatan RDPU ini merupakan bagian dari tahap pemantauan oleh BULD DPD RI atas ranperda dan perda terkait tata kelola pemerintahan desa, yang akan dibahas dan didalami lebih lanjut.
Herman N. Suparman, selaku Direktur KPPOD menjelaskan dari tujuan awal dibentuknya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam rangka peningkatan pelayanan publik, meningkatkan ketahanan sosial budaya, memajukan perekonomian masyarakat desa, serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional.
Direktur KPPOD tersebut menerangkan bahwa saat ini regulasi dan kebijakan terkait desa sudah cukup banyak dari UU hingga peraturan turunannya berupa PP, Perpres, Peraturan Menteri Desa, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri, dan lain sebagainya.
“Saat ini terdapat 4 faktor permasalahan keterbatasan desa, yakni; pertama, faktor sosial, seperti: keterbatasan akses layanan dasar, keterbatasan SDM, kesenjangan sosial dan konflik sosial,” ucapnya.
Kedua, faktor ekonomi, seperti: kekurangan akses pasar dan modal, keterbatasan infrastruktur, produktivitas rendah dan ketergantungan terhadap dana desa.
Ketiga, faktor lingkungan, seperti: pencemaran air/sungai, kebakaran lahan, manajemen sampahdan mitigasi bencana.
“Dan keempat, faktor tata kelola, seperti perencanaan dan penganggaran, korupsi dana desa, kerjasamadesa, badan permusyawaratan desa yang lemah, dan kekerabatan mengalami fragmentasi,” ucap Herman.
Dirinya menekankan keempat faktor tersebut dikarenakan munculnya permasalahan antara desa dengan supradesa, terjadi ketidaksinkronan kewenangan dan kebijakan antara Kementerian Dalam Negeri yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa, Kementerian Desa yang mengurus pembangunan dan pemberdayaan desa, Kementerian Keuangan yang mengatur pengelolaan keuangan, serta kementerian sektoral yang menyasar desa untuk melaksanakan program masing-masing kementerian.
“Perlunya pendekatan kolaboratif governance sejak dari perencanaan hingga pengawasan terkait pengawasan dana desa bekerjasama dengan komponen kelompok masyarakat dan pelaku usaha untuk membangun tata kelola pemerintahan desa yang baik, dan mendorong pendekatan asimetris dalam pembangunan pemerintahan desa berdasarkan tingkat kinerja desa sebagai dasar pengambilan kebijakan asimetris,” lanjut Herman.
Di sisi lain Surta Wijaya, selaku Ketua Umum APDESI ikut menekankan pentingnya pada aspek SDM, yakni perangkat desa, sebagai ujung tombak pemerintahan di tingkat desa.
Ketua Umum APDESI menuturkan bahwa peran perangkat desa dalam pembangunan desa dimulai sejak tahap perencanaan yaitu penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) hingga pelaksanaan berbagai program Pembangunan, serta menjalin koordinasi dengan berbagai pihak, baik pemerintah tingkat atas, lembaga masyarakat, maupun masyarakat desa.
“Perangkat desa harus mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa, diantaranya sosialisasi kepada masyarakat terkait program-program pembangunan desa, adanya jaminan transparansi dalam pengelolaan anggaran desa, dan melakukan inovasi pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,” ujar Surta.
Meski demikian, Surta Wijaya mengakui adanya tantangan dalam pembangunan desa diantaranya kurangnya kapasitas SDM, keterbatasan anggaran, dan rendahnya partisipasi masyarakat.
“Solusinya adalah diperlukannya peningkatan kapasitas melalui pelatihan, optimalisasi penggunaan anggaran desa, dan penguatan kelembagaan Masyarakat, sertadiperlukan adanya evaluasi dan perbaikan dalam tata kelola BUMDes yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat desa,” sambung Surta.
Beberapa anggota BULD DPD RI yang hadir juga turut memberikan tanggapan dan pendalaman beberapa isu strategisdi daerahnya masing-masing, diantaranya terkait prinsip otonomi asimetris, penguatan kapasitas SDM perangkat desa, desa di lingkar tambang, evaluasi dan revitalisasi BUMDes, anggaran desa, pemekaran desa, dan pengaruh politik kepala desa.
Di akhir rapat, kedua narasumber baik dari KPPOD maupun APDESI menyatakan siap menjadi mitra DPD RI melalui BULD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah dan desa dalamrangka penguatan otonomi daerah dan otonomi desa.
(Rel/dpd)