
Oleh: Wiztian Yoetri
(Wartawan Senior)
UNIVERSITAS Asean Internasional Malaysia menganugerahkan gelar Profesor, untuk Walikota Padang dua periode 2004-2014 Dr Fauzi Bahar, MSi Datuk Nan Sati. Anugerah itu, berangkat dari riset yang dilakukan perguruan tinggi yang berkampus di Kualalumpur itu, berkaitan dengan wajib jilbab (hijab) untuk pelajar muslim di kota Padang, sebuah kebijakan Fauzi Bahar, 20 tahun lalu.
Alhamdulillah, pekan lalu Fauzi Bahar, diberi kesempatan menyampaikan orasi ilmiah di hadapan sidang terhormat Universitas Asean Internasional, dengan judul “Jilbab Melindungi Perempuan dan Menjaga Adat Minangkabau”. Di hadapan, Rektor Universitas Asean, Prof Dr Sunandar, MSi dan Wakil Rektor Prof Mohamad Zakir bin Mohd Bahar, serta senat.
Sampai saat ini dampak kebijakan Fauzi itu, dirasakan manfaat dan kebaikannya oleh masyarakat, bahkan sudah menjadi kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Bersamaan dengan kebijakan wajib jilbab dan busana muslimah bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) juga sejalan dengan program syiar Islam Pemerintah Kota Padang seperti, gerakan pemungutan zakat bagi pegawai negeri (ASN) di Kota Padang, kebijakan wajib tamat juz amma bagi murid Sekolah Dasar, kegiatan Pesantren Ramadhan bagi siswa SD, SMP dan SMA dan bantuan ke rumah ibadah Islam dan non Islam.
Kebijakan yang dilakukan Fauzi, intinya penguatan bagi umat Islam yang mayoritas di Kota Padang, dan telah membawa perubahan bagi kemajuan dan peradaban di Kota Padang dan Sumatera Barat, karena kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat yang sekaligus pusat lalu lintas dan mobilitas masyarakat Sumatera Barat.
Fauzi, yang menjabat wali kota dua periode, mengatakan aturan Jilbab itu dibuat justru untuk melindungi kaum perempuan. Peraturan tentang Jilbab ini semula hanya berupa imbauan. Namun kemudian berubah menjadi instruksi Wali Kota Padang. Saat itu SMA/sederajat merupakan bagian dari perangkat pemerintah kota/kabupaten. Aturan berbusana ini diatur dalam Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Instruksi itu dikeluarkan pada 2005. Salah satu poin instruksi itu adalah mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri di Padang. Kendati nomenklaturnya ditujukan kepada siswi muslim saja, namun di lapangan, siswi nonmuslim juga mengenakan jilbab ini.
Sejatinya Peraturan tentang busana muslimah, lebih populer di media sebagai kewajiban berjilbab, adalah untuk menjaga marwah dan martabat kaum perempuan, dan lebih khusus lagi untuk mengembalikan budaya Minangkabau dalam berpakaian yang dikenal dengan baju kurung dan selendang.
Sebelum Indonesia merdeka, gadis Minang dulunya sudah berbaju kurung. Pasangan baju kurung adalah selendang. Dalam perkembangannya agar tak diterbangkan angin dan tentu lebih modis, ada kain yang dililitkan ke leher, itulah yang namanya jilbab. Kebijakan Jilbab ini bukan hanya di Kota Padang saja, tapi menjalar ke seluruh Sumatera Barat, bahkan di Indonesia.
Dalam perjalananya kebijakan Jilbab ini, memang tidak berjalan mulus, ada protes dan politisasi banyak pihak terhadap kebijakan dengan alasan meniadakan kebhinekaan dan kesetaraan, padahal hanya mengatur siswa yang muslimah saja. Pada hakekatnya, kebijakan Jilbab bukan paksaan untuk nonmuslim, tetapi melindungi generasi muslimah. Pernah ada penolakan dan kritik terhadap jilbab ini muncul saat ada kasus SMK 2 Kota Padang dimuat di media CNN 21 Januari 2021. Polemik wajib jilbab di SMKN 2 Padang bagi non-muslim disebut tak lepas dari peraturan daerah (perda) yang intoleran. Pemerintah Pusat disebut berkontribusi karena membiarkannya sejak lama.
Dikutip dari penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, ketentuan soal wajib jilbab itu ada pada poin 10, dari total 12 poin, dalam Instruksi Wali Kota. “Bagi murid/siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MAN se Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non Muslim dianjurkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki),”
Kritik dan polemik terhadap kebijakan jilbab ini juga terjadi. Sampai pada Menteri Dalam Negeri yang memandang kebijakan ini bersifat diskriminatif dan intoleran. Namun, Fauzi mampu menjelaskan dengan argumentatif. Sempat dalam diskusi dengan Media Nasional, Metro TV dan TV lokal banyak pengamat menyebutnya ini diskriminatif dan intoleransi. Namun Fauzi Bahar tegas menyatakan bahwa ini tujuannya adalah melindungi kaum perempuan dan mewariskan budaya luhur Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK) yang menjadi filosofi etnis Minangkabau.
Menggunakan Jilbab, bagi pelajar muslimah, pada hakekatnya kearifan lokal yang banyak manfaatnya. Sedangkan bagi yang non-muslim tidak diwajibkan, melainkan dianjurkan. Pasalnya, penggunaan jilbab dinilai memiliki banyak manfaat. Selain kearifan lokal, juga bisa memperlihatkan pembauran antara mayoritas dan minoritas. “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.”
Pada akhir orasi, Ketua LKAAM Sumbar itu menyatakan, kebijakan wajib jilbab, bentuk konkrit dari penguatan keberadaan umat Islam dalam bidang pendidikan agama. Semuanya bertujuan untuk melindungi remaja putri, dan kaum perempuan yang menjadi pondasi utama dalam sistim adat Minangkabau yang dikenal dengan sebutan Bundo Kanduang.
Pada hakekatnya, menggunakan hijab, atau menutup aurat juga merupakan salah satu perintah Allah dalam Alquran, diantara tujuannya, adalah menghindarkan fitnah dari lawan jenis. Pada buku, “Pesona Jilbab Dari Padang: Sebuah Laporan Empiris Tentang Busana Muslimah” (Pemko Padang, 2012), yang ditulis bersama, Abdullah Khusairi dan Khairul Jasmi mengungkapkan, ramai pula kedai-kedai jilbab dari harga termurah hingga termahal. Jilbab menjadi bahan modifikasi bagi lagak dan gaya kaum hawa. Mereka anggun dan nyaman dari ancaman. Para tahun 80-90an, berjilbab dianggap aneh bahkan di larang di ruang resmi, kini berjilbab sebagai keharusan budaya.
Semoga legacy kebijakan jilbab yang telah membawa Fauzi Bahar dianugerahkan Profesor ini, membawa manfaat bagi bangsa dan umat manusia. Amin. *)
