Oleh: Isa Kurniawan
(Wartawan/Penikmat Seni)
TAK ELOK rasanya ketika dikasih buku, kemudian kita diam saja tanpa berpendapat. Dikira nanti tidak dibaca, atau dibiarkan saja. Jadi pajangan.
Untuk membayar hutang itu, saya coba memberi pendapat sepatah dua kata. Tanda jadi saja.
Membaca buku “Salam Tubuh pada Bumi: Perjalanan 40 Tahun Karya Ery Mefri” yang ditulis Hendra Makmur (jurnalis senior), mengingatkan kepada kita bahwa hidup itu harus berproses. Terus berjalan. Dan penuh perjuangan.
Di sinilah nanti, proses itu tidak akan mengkhianati hasil.
Ery Mefri hari ini, yang merupakan seorang Maestro Tari Minang/Koreografer Tari Kontemporer yang telah mendunia, bukan secara instan ujuk-ujuk karena TikTok atau YouTube, tiba-tiba saja muncul.
Ery Mefri itu berproses. Mulai dari kecil sampai saat ini, konsisten di jalurnya sebagai seniman tari. Setelah melalui pendakian, onak, duri, dan penderitaan hidup. Suka dan duka. Akhirnya ia bisa mencapai puncak.
Semenjak di Rahim
Ternyata, tekad Ery Mefri ingin mendalami tari dan menjadi seniman itu berangkat dari “dendam”.
Ketersinggungan Ery semasa sekolah di SMP Imam Bonjol di Saniangbaka —sebuah nagari di tepian Danau Singkarak Kabupaten Solok, dimana tempat Ery Mefri lahir pada tanggal 23 Juni 1958, empat bulan setelah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dideklarasikan.
Berarti umur Ery Mefri saat ini; 65 tahun. Ya, sudah mulai senja.
Mulai dari Ery tidak dianggap, karena saat ikut pementasan tari di sekolah, tiba-tiba saja diganti, sampai ada seorang pelukis yang menyebut Ery tidak mengerti dengan seni. Itulah pangkal balanya.
“Dendam” inilah yang menjadi energi bagi Ery, selain Abak dan Amak (panggilan akrab Ery untuk kedua orangtuanya), serta keluarga tercintanya.
Tapi sejatinya, sebenarnya ruh seni Ery itu sudah ada semenjak di dalam rahim Amak, yang bernama Nurjanah (pengrajin kain sulaman Minang). Dan Abak, Jamin Manti Jo Sutan yang dikenal akrab dengan sebutan Manti Menuik —salah seorang seniman tari kenamaan dari Saniangbaka, yang dinobatkan oleh DKSB (Dewan Kesenian Sumatera Barat) pada tahun 2005 sebagai Maestro Seni Tradisi Minang.
Setamat SMP di tahun 1976, walaupun sempat “dibelokkan” Abak agar Ery bersekolah di SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) di Payakumbuh dengan iming-iming dibelikan sepeda motor Astrea 70.
Tapi Ery meneguhkan hati masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di Padang Panjang, meski tidak dapat sepeda motor.
Padahal di masa itu, kalau sudah punya sepeda motor Astrea 70, sudah juara. Sudah di atas nama kita.
Masa sekolah di SMKI itulah yang semakin mengasah jiwa seni Ery, khususnya seni tari. Dalam catatannya selama di SMKI, Ery mengikuti 41 pementasan tari, baik di Sumbar maupun ke berbagai daerah lainnya hingga ke Yogyakarta.
Tradisi Minang
Semenjak kecil Ery sudah hidup di dalam tradisi Minang yang kental di kampungnya Nagari Saniangbaka. Latihan silat (silek) sudah dilakoni Ery di Sasaran Bawah Kuini dengan guru Said Sutan Basa. Seorang guru gadang silek yang terkenal dengan Silek Singo Barantai. Said Sutan Basa juga guru dari Manti Menuik, ayahanda Ery.
Belajar silek di Minangkabau, bukan saja berlatih bela diri. Tapi juga mempelajari nilai-nilai dan filosofi adat Minang.
Menurut Ery, hampir seluruh seni tradisi Minangkabau berbasis pada gerakan silek. Untuk bisa menari dengan baik, seorang penari tradisi harus menguasai dasar-dasar silek Minang.
Dari silek, kemudian beranjak ke tari tradisi, sudah disemai Ery ketika berumur 6 tahun dengan “menyimak” latihan tari yang diadakan Abak dengan anak tarinya.
Sampai kemudian, Ery pun ikut Abak pementasan tari dari kampung ke kampung.
“Menyimak” inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Ery di dalam belajar dan memberikan pembelajaran, termasuk ketika memulai Nan Jombang Dance Company dengan 15 orang anak tari dari SMKK (Sekolah Menengah Keterampilan Keluarga), pada tanggal 1 November tahun 1983.
“Menyimak” ini didapatkan Ery dari nasehat salah seorang kerabatnya yang ia panggil angku (kakek). Kata angku tersebut, menyimak akan membuat kita lebih cepat memahami pelajaran dan persoalan.
“Menyimak adalah cara belajar terbaik, sementara menghafal akan membuat seorang itu seperti robot dan menutup ruang kreativitas seorang seniman,” kata Ery.
Tradisi Minang itulah yang kemudian menjadi dasar bagi Ery di dalam berkarya bersama dengan Nan Jombang sampai saat ini. Setelah 40 tahun semenjak berdiri di tahun 1983, tradisi itu tetap jadi referensi.
Seni Tari Kontemporer
Bersama dengan Nan Jombang, dalam catatannya Ery sudah menghasilkan 65 karya tari, dimana 4 masih dalam proses, yakni; Himbauan Suara Subuh (2019); Salam Tubuh pada Bumi (2021); Di Atas Sajadah (2021), dan Si Untuang Sudah (2023).
Tari yang masih dalam proses ini menjadi hutang Ery Mefri untuk menuntaskannya. Sembari berproses lagi untuk menghasilkan karya-karya baru.
Mencermati Tari Kontemporer yang diusung oleh Ery Mefri, fondasinya tetap pada tradisi, dengan silek yang menjadi dasar gerakannya, tetapi utuhnya lari dari pakem konvensional tari Minang yang selama ini ada.
Budayawan Edy Utama menyebut ini merupakan sikap pemberontakan terhadap tradisi, walau dinilai belum mencapai totalitas. Kadang, menurutnya, Ery masuk ke dalam tradisi, kemudian keluar dalam nuansa diam.
Edy Utama menilai Ery bergerak dalam dua tarikan latarnya, sebagai seniman tradisi dan latar pendidikan tari modern saat belajar di SMKI.
Tapi bagi Rhian D Kincai (alm), Ery Mefri membawa sesuatu yang baru dalam dunia koreografi di Sumbar. Rhian menilai terjadi pemberontakan dalam batin Ery yang disalurkan lewat ekspresi tari yang keras namun dinamis.
Senada dengan Rhian, menurut Pinto Janir, Ery itu berkesenian tanpa batas. Gerak ciptanya tegas dan tegang. Terlihat betapa gelisahnya Ery melihat berbagai persoalan yang ada.
Ery Mefri mengakui bahwa kalangan teater berpengaruh pada tarinya. Ini karena Ery tidak ingin imajinasinya terhalang oleh berbagai sekat aturan, dan ia hanya ingin berproses dengan leluasa.
Ini yang kadang menjadi sandungan bagi Ery Mefri dan Nan Jombang ketika berhadapan dengan birokrasi. Karena birokrasi itu tahunya “hanya” dengan Tari Pasambahan, Tari Piring dan tari-tari konvensional lainnya.
Sehingganya dukungan bagi Nan Jombang, tidak sama dengan sanggar-sanggar tari yang menjadi binaan birokrasi tadi. Atau sanggar tari lainnya.
Nan Jombang kerap dicap sebagai; “kesenian swasta”.
Bahkan dengan minimnya dukungan tadi, suatu ketika Nan Jombang diundang ke Jawa, karena keterbatasan dana, sempat terlunta-lunta dan menjual perhiasan para penari.
Titik Balik
Puluhan tahun Nan Jombang dengan diskriminasi birokrasi dan sengsara di tengah-tengah ketidakpedulian orang lain, akhirnya titik balik itu tiba ketika Nan Jombang bisa tampil di Indonesian Performing Arts Mart (IPAM) di Nusa Dua Bali pada 15-17 Juni 2004.
Di sanalah Ery bertemu dengan Andrew Ross, Direktur Brisbane Powerhouse, yang mengelola sebuah gedung pertunjukan ternama di Australia.
Yes! Nan Jombang diundang Andrew Ross tampil di Australia.
Berselang tiga tahun setelah tampil di Bali, pada 2-11 Agustus 2007, Nan Jombang tampil di Australia, dan mendapat apresiasi dari publik Australia.
Kemudian di IPAM yang digelar di Solo, pada 3-7 Juni 2009, Nan Jombang kembali dapat undangan tampil di luar negeri.
Yes! Kali ini dari Frie Leysen, Direktur Festival Theater Der Welt, untuk tampil di dalam salah satu acara teater terbesar di dunia: “Theater der Welt” di Essen, Jerman, pada 6-12 Juli 2010.
Semenjak tampil di dua iven tadi, undangan untuk Nan Jombang tampil, baik di dalam maupun dari mancanegara, tidak terbendung lagi.
Saat berjuang untuk mengibarkan panji-panji Nan Jombang itu banyak duka yang ditelan Ery dengan rasa perih.
Di antaranya; ketika dua orang tersayangnya meninggal, Ery tidak bisa mengantarkan ke liang kubur, karena bersamaan harus pergi ke luar negeri dengan jadwal yang sudah matang.
Pertama ketika anak Ery, bernama Gessi, meninggal dunia saat ia mengikuti workshop dan menghadiri “American Dance Festival” di Durham, Carolina Utara dan New York, Amerika Serikat pada 5 Juni-28 Juli 1994.
Kemudian saat akan berangkat untuk tampil di Brisbane Powerhouse Australia awal Agustus 2007, ayahanda Ery; Sang Maestro Tari Manti Menuik berpulang ke rahmatullah.
Di kedua kemalangan itu, Ery Mefri hanya bisa memeluk nisan orang-orang tersayangnya itu selepas pulang.
Perih memang. Tapi hidup harus terus berjalan.
Dukungan orang-orang di Nan Jombang, keluarga, dan kawan-kawan lah yang membuat Ery tetap kuat melangkah.
Seiring berjalannya waktu, Nan Jombang akhirnya bisa membangun padepokan di atas tanah seluas 2500 m2 di daerah Balai Baru Kuranji Kota Padang, dengan bangunannya yang modern, apik dan asri.
Di tempat yang dinamakan dengan Ladang Tari Nan Jombang ini, Ery Mefri terus menyempurnakan karya-karya, dan kemudian menggelar iven-iven yang rutin dilaksanakan, seperti; Festival Nan Jombang dan KABA Festival.
Saat peringatan 40 Tahun Ery Mefri Berkarya telah diresmikan Museum Tari Ery Mefri, —yang menampilkan rekam jejak Ery selama 40 tahun berkarya.
Kemudian, pada tanggal 9 November 2023 lalu, Ery Mefri menerima penghargaan bergengsi CHI Award 2023 dari Yayasan AlMar, untuk kategori Penerus Seni Tari Nusantara.
Dengan rekam jejak yang terukur selama puluhan tahun tersebut, sudah selayaknya Ery Mefri mendapatkan Dr HC (Doctor Honoris Causa). Bisa saja dari UNP (Universitas Negeri Padang), atau dari Unand (Universitas Andalas).
Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Perempuan (Padusi)
Ery Mefri itu sangat menghargai perempuan (padusi). Hal ini ditunjukkannya betapa sayangnya Ery kepada Amak, ibundanya tercinta Nurjanah.
Waktu Ery kecil, ia memahami kepedihan hati Amak ketika berpisah dengan Abak, Manti Menuik. Ery hanya berjanji, saat dewasa nanti, kemana pun pergi, ia akan membawa Amak tinggal bersamanya.
Hal itu ditepati Ery. Dimana hingga berpulang pada 7 Desember 2020, Amak tinggal bersama Ery dan keluarga.
Di sisi lain, dari ayahanda Manti Menuik, terlihat bahwa bukan perkara bakat tari saja yang menurun pada Ery Mefri. Perkara padusi pun ikut turun.
Buah itu memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Manti Menuik itu menikah sebanyak 8 kali. Termasuk dengan Nurjanah, ibunda Ery.
Sementara itu Ery Mefri menikah 5 kali. Dengan 3 istri yang sekarang tetap mendampingi Ery.
Pada tahun 1978 saat Ery berusia 20 tahun, ia sudah menikah dengan Dahlia, anak guru silek kedua Ery, Angku Muin Kaco.
Waktu menikah itu, Ery masih sekolah di SMKI Padang Panjang.
Setelah bercerai dengan Dahlia, ketika telah menjadi PNS di Taman Budaya Padang, tahun 1982 Ery menikah lagi dengan Afriyeni (Cal), teman semasa di SMKI yang sering mengantar makan siang saat ia latihan di sekolah.
Setelah itu, pada tahun 1985, Ery menikah lagi dengan Gusti Yanti. Namun kemudian berpisah.
Tahun 1989, Ery menikah lagi dengan Nomi Hardani. Dan terakhir, tahun 2005, Ery menikahi Angga Djamar, penari perempuan yang telah menari untuk Nan Jombang semenjak tahun 1990. Saat ini Angga Djamar menjadi Manajer Nan Jombang, yang merangkap Direktur Festival Nan Jombang dan KABA Festival.
Wujud cintanya pada padusi, khususnya kepada ibunda Nurjanah dan istri-istrinya, Ery kemudian menciptakan tari “Siti Hawa” yang termasuk salah satu tari istimewa di Nan Jombang.
Ery mengaku menikah beberapa kali karena memang jatuh cinta dan membutuhkannya.
Ery menyayangi semua istrinya. Ia tak ingin meninggalkan seorang pun. Ketika ada perceraian, menurutnya, hal tersebut karena permintaan dari mantan istri.
Cerita padusi, seperti Manti Menuik dan Ery Mefri ini sudah tidak asing lagi bagi orang Minang. Dari kekerabatan/dunsanak itu, ada yang istilahnya; sabapak, saparuik dan lainnya.
Tetapi tetap garisnya adalah garis ibu (padusi), sesuai dengan adat Minang yang matrilineal. *)