
Oleh: Yosa Adelia
SEBELUM membahas asal-usul suku di Minangkabau, baiknya kita memahami dulu apa itu suku. Suku bisa kita sebut sebagai marga. Sistem suku di Minangkabau sendiri mirip dengan sistem yang dianut oleh orang Cina, yaitu sistem berpuak-puak.
Warga puak tidak boleh saling mengawini dan perkawinan hanya boleh dilakukan dengan warga puak yang lainnya. Berbeda dengan masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal (garis keturunan dari ibu), warga puak sendiri menganut sistem patrilineal (garis keturunan dari ayah).
Kebudayaan Cina masuk ke Minangkabau pada masa kedatangan Maharaja Diraja. Awal mulanya masyarakat Minangkabau hanya terbagi menjadi empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang.
Bodi dan Caniago menganut aliran politik yang disebut Kelarasan Bodi Caniago dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang sebagai pimpinannya. Menurut Tambo, Bodi Caniago berasal dari bodi nan baharago (berharga) sebagai cermin ketinggian budi Datuk Perpatih Nan Sabatang dalam menghadapi aristokrasi Datuk Katumanggungan.
Ada juga yang mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari budi nan curigo (curiga) karena Datuk Perpatih Nan Sabatang selalu curiga terhadap kemauan politik Datuk Katumanggungan.
Lalu Koto dan Piliang menganut aliran politik yang disebut Kelarasan Koto Piliang dengan Datuk Katumanggungan sebagai pemimpinnya.
Koto Piliang berasal dari kato (nan) dan pilian (pilihan) yang artinya adalah apa yang diucapkan Datuk Katumanggungan.
Karena terjadi perkembangan di Minangkabau dan juga kedatangan orang asing yang menjarah Minangkabau, menyebabkan jumlah suku yang tadinya hanya empat menjadi bertambah.
Dalam tambo tercatat bahwa perombakan pertama terhadap dua aliran sistem politik yang dilakukan oleh Datuk Nan Sakelap Dunia yang menginginkan hak yang sama seperti kedua saudaranya, dengan cara memisahkan diri dari lima kaum dan membentuk lima suku baru. Lima suku baru tersebut, yaitu Kutianyir, Patapang, Banuhampu, Salo, dan Jambak. Nama kelima suku tersebut diambil dari nama Salonagari asal penduduk yang menjadi pengikutnya.
Kehadiran Kerajaan Singosari dan kemudian Majapahit menyebabkan munculnya suku-suku bangsa lain di Minangkabau dan kemudian membentuk suku baru yang namanya berasal dari nama bangsa itu sendiri. Seperti suku Melayu dari bangsa Melayu, Singkuang dari bangsa Cina Sinkiang, dan Mandahiling dari suku bangsa sebelah utara.
Karena sifat pembangkang Datuk Nan Sakelap Dunia dan juga kedatangan orang asing dari bangsa-bangsa lain yang menjadi kaula raja, menyebabkan suku-suku di Minangkabau bertambah menjadi empat puluh suku.
Lalu laras pada suku yang tadinya hanya berjumlah dua, bertambah menjadi tiga, yaitu Laras Nan Panjang di bawah pimpinan Datuk Nan Sakelap Dunia. Lalu aliran keselarasan tersebut tidak lagi menjadi anutan suku, tetapi menjadi anutan nagari. Contoh, suku Caniago yang mendiami nagari yang menganut aliran Koto karena warga suku Caniago mendiami nagari yang menganut aliran Koto Piliang.
Pengambilan nama-nama suku beraneka ragam, ada yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, (Si) Pisang, Mandaliko, Dalimo, dan Pinawan (Pinangawan).
Lalu ada juga penamaan suku yang berasal dari nama benda, seperti (Si) Napa, Guci, Tanjung, Salayan, dan lain-lain. Penamaan suku juga bisa dari asal nama desa, yaitu Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo, dan lain-lain. Nama suku juga ada yang dari nama orang, seperti Dani, Domo, dan (Si) Magek.
Karena bertambahnya suku menyebabkan kehadiran suku tidak merata. Ada suku yang mekar di suatu nagari dan ada juga yang hilang karena kepunahan warganya. Ada juga suku yang hanya ada di satu nagari atau di satu luhak saja.
Pemekaran Suku
Berikut faktor-faktor terjadinya pemekaran suku. Pertama, pemekaran karena pertambahan penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dalam suatu nagari menyebabkan tidak seimbangnya dengan warga suku lain lalu menimbulkan permasalahan, terutama dalam hal perkawinan.
Peraturan yang berlaku adalah tidak boleh melakukan perkawinan sesama suku. Untuk mengatasi permasalah tersebut, suku yang sangat berkembang terpaksa membagi sukunya menjadi dua atau tiga sehingga antara warga mereka dapat melakukan perkawinan.
Kedua, pemekaran karena pemukiman baru. Karena terjadinya pertambahan penduduk yang secara terus-menerus dan pemukiman tersebut tidak bisa memberikan tempat tinggal atau kesejahteraan, maka mereka harus mencari pemukiman baru beramai-ramai dengan cara berkelompok.
Kelompok-kelompok tersebut mungkin berasal dari satu atau beberapa ninik atau kaum yang sukunya sama atau terdiri dari beberapa suku, dan bisa juga arus perpindahan itu dari beberapa nagari.
Ketiga, pemekaran karena imigran. Di tanah Minang sendiri banyak kedatangan orang dan suku bangsa asing untuk berdagang, petani, dan juga sebagai penjajah. Orang-orang asing terebut banyak melakukan perkawinan dengan orang Minangkabau dan terjadi integrasi melalui proses adat tanpa kehilangan identitasnya.
Proses integrasi tersebut dengan cara mendirikan suku sendiri. Keuntungan mereka mendirikan suku sendiri adalah mereka akan memperoleh hak yang sama dengan suku yang telah ada, dan juga mereka dapat mengatur nagari karena mereka juga mempunyai penghulu yang sederajat.
Karena faktor-faktor tersebut, menyebabkan suku-suku di Minangkabau bertambah. Diperkirakan jumlah suku di Minangkabau menjadi lebih dari empat puluh suku, yaitu suku Banuhampu, Bendang, Bingkuang, Bodi Caniago, Dalimo, Dani, Domo Guci, Gudam, Haro, Jambak, Kampai, Karambil, Koto, (Si) Kumbang, Kutianyir, Lubuk Batang, (Si) Mabur, (Si) Magek Mandahiling, Mandaliko, Mansiang, malayu, (Si) Napa, Padang Laweh, Pagarcancang, Panai, (Si) Panjang, Patapang, Payobada, Piliang, Pinawan, (Si) Pisang, Salayan, Salo, Singkuang, Supayang, Tabu, dan Tanjung.
Dan juga terdapat suku yang dimekarkan, yaitu Gudam nan Empat, Melayu Tiga Korong, dan Piliang Sani. *)
Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand)