HEGEMONI Jawa terhadap daerah lainnya di Nusantara telah berlangsung semenjak zamannya Majapahit, dan sampai sekarang masih langgeng.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hegemoni itu artinya pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya, suatu negara atas negara lain (atau negara bagian).
Secara umum, hegemoni adalah dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas kelas sosial lainnya, melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan dominasi atau penindasan.
Bisa juga hegemoni didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi/dikuasai diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.
****
Dalam konteks politik, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara langsung —one man one vote, dengan jumlah pemilih Jawa yang mendominasi hampir separo dari total pemilih di Indonesia, maka hegemoni Jawa sulit untuk dipatahkan. Jawa di sini dalam artian sukubangsa, atau etnis.
Dalam sejarahnya; terjadi “force majeure” baru bisa luar Jawa menjadi Presiden di Indonesia. Sebutlah Presiden Habibie, kemudian PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), tetapi Syafruddin Prawiranegara tidak diakui sebagai presiden.
****
Dengan semakin dekatnya Pilpres 2024, mulai mengapung nama-nama kandidat untuk diusung menjadi Presiden RI ke depan. Di antaranya; Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Airlangga Hartato, Erick Thohir, Ridwan Kamil, AHY, Lanyalla dan banyak lainnya.
Tiga nama teratas, Anies, Ganjar dan Prabowo dalam beberapa survei memiliki elektabilitas yang mumpuni. Kecuali Ganjar, Anies dan Prabowo sudah ada partai yang secara terbuka berniat mengusungnya.
Dan dalam pandangan saya, sekiranya ketiganya benar-benar bertarung di Pilpres 2024, maksudnya terdaftar di KPU RI, maka calon dengan latar belakang Jawa sulit untuk dikalahkan. Hegemoni Jawa itu sulit untuk dipatahkan.
Bagi pemilih Jawa, tidak perlu panjang lebar bicara ini itu. Dengan budaya manut —dan keinginan untuk mempertahankan hegemoni tadi, maka sosok calon Jawa diyakini akan dipilih oleh mereka dengan sempurna.
Pertimbangan memilihnya sederhana saja, “Ini Jawa” dan “Itu Tidak Jawa”. Kalau ada yang sama-sama Jawa, maka dipilihlah yang kental Jawa-nya.
****
Seruan agar tidak menggunakan politik identitas itu hanya sekadar teori belaka. Bagaimana mungkin di tengah-tengah masyarakat yang primordial kita bicara untuk menanggalkan politik identitas?
Bagi masyarakat Jawa, emosi kejawaannya itu sangat lah kuat. Walaupun mereka sudah dua atau tiga generasi sekalipun hidup di luar pulau Jawa, tetapi ketika emosi kejawaannya tersentuh, maka mereka akan manut.
Kalau di Minang kita mengemal istilahnya; tagak bakampuang mamaga kampuang, tagak banagari mamaga nagari.
Penulis adalah Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas)