JAKARTA, AmanMakmur.com — Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dinilai tepat untuk menjadi presiden. Pasalnya, Indonesia membutuhkan sosok strong leader seperti LaNyalla.
Penilaian itu disampaikan Pengurus KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) Kota Pare-Pare saat beraudiensi dengan LaNyalla, di kediaman Ketua DPD RI, Jakarta, Sabtu (28/5).
Hadir dalam pertemuan itu Muh. Salim Sultan (Ketua Harian KAHMI Pare-Pare), HM. Nur Azis T ( Ketua Dewan Penasehat), Ja’far (Ketum HMI Kota Pare-Pare), Agussalim Alwi (Majelis Nasional KAHMI), Andi Tobo ( Ketua Pakar KAHMI Sulsel) dan H.A Rahman Saleh (Presidium KAHMI). Sedangkan Ketua DPD RI didampingi Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan staf ahli Ketua DPD RI Baso Juherman.
Ditegaskan oleh Muh. Salim Sultan, kondisi bangsa Indonesia yang semakin memprihatinkan saat ini, dibutuhkan pemimpin yang kuat. Hanya dengan itulah bangsa ini bisa keluar dari krisis.
“Bangsa ini butuh strong leader. Sosoknya ada pada diri Pak LaNyalla. Kami melihat Bapak seorang yang punya keberanian, ketegasan dan sangat berpihak pada rakyat. Makanya kami mendukung Bapak sebagai Presiden,” ujarnya.
Realitasnya, lanjut Muh. Salim Sultan, ada aturan yang membungkam upaya tersebut. Yaitu ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20 persen.
Terkait hal itu juga, KAHMI Pare-pare menyampaikan persetujuannya dengan langkah Ketua DPD RI yang mengajukan mengajukan judicial review pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Dalam pandangan kami, Presidential Threshold 20 persen merupakan tirani. Parpol sangat berkuasa. Akhirnya oligarki semakin mencengkeram dan bisa menentukan kebijakan karena mereka masuk di lingkar kekuasaan,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, KAHMI Pare-Pare juga ingin mengundang LaNyalla untuk hadir dalam Musyawarah Daerah yang akan dilaksanakan pada Juni mendatang. Dalam rangkaian acaranya KAHMI akan menyelenggarakan diskusi terkait PT 20 persen tersebut.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyampaikan perjuangan DPD RI di Mahkamah Konstitusi. Harapannya MK menyadari bahwa lembaga tersebut didirikan untuk menjaga tegaknya konstitusi.
“Jadi kalau ada Undang-undang yang melanggar Konstitusi seharusnya MK membatalkannya,” tukas dia.
Menurut LaNyalla, UUD 1945 pasal 6A tidak mengatur ambang batas 20 persen pencalonan Presiden. Namun, pemerintah dan DPR yang merupakan representasi partai politik malah membuat adanya ambang batas 20 persen untuk Presiden yang dituangkan di pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Kita masih menunggu MK untuk menghapus pasal yang tidak derivatif dari Konstitusi tersebut. Akan jadi pertanyaan besar jika MK tak mau menghapusnya. Yang menggugat saat ini lembaga DPD RI loh. Tidak main-main,” ucap LaNyalla.
LaNyalla juga berharap Presiden Jokowi menunjukkan sikap pro konstitusi. Menurutnya Presiden dalam hal ini Pemerintah dan DPR adalah pihak yang membuat UU tersebut.
“Maka sudah seharusnya Presiden menunjukkan sikap yang tegas ikut menegakkan Konstitusi dengan meninjau kembali Undang-Undang yang tidak sesuai konstitusi itu,” tegasnya.
(Rel/dpd)