YOGYAKARTA, AmanMakmur.com —Penyiaran itu adalah produk peradaban, makanya di tengah derasnya arus digitalisasi, lembaga penyiaran harus berbenah meningkatkan kompetensinya, sehingga kontennya dapat mencerdaskan dan membentuk karakter bangsa.
Bukan lembaga penyiaran semata, civil society khususnya perguruan tinggi; dosen, peneliti, dan mahasiswa, mempunyai peran strategis pula melalui kajian-kajian ilmiah yang update, relevan dan kontekstual di dalam membahas digitalisasi penyiaran.
Tapi pada dasarnya semua pihak adalah agen dari pembentukan karakter bangsa. Semua harus berkolaborasi, bekerjasama untuk membuat masyarakat Indonesia yang bermartabat.
Demikian benang merah disampaikan moderator Tisa Novenny, penyiar TV One, pada akhir acara seminar nasional dengan tema “Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran yang Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan,” dalam rangka Konferensi Penyiaran Indonesia Tahun 2022, Selasa (24/5), bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta.
Sebelumnya, sebagai narasumber, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menggaransi 100 persen bahwa lembaga penyiaran mainstream tidak ada yang macam-macam dan selalu sejalan dengan yang namanya Pancasila.
“Di luar kanal mainstream yang perlu ada regulasi. Saat ini mereka bebas memproduksi dan mendistribusikannya di platform media sosial. Kadang kontennya bermasalah, dan menimbulkan kehebohan di tengah-tengah masyarakat,” ujar Yuliandre, komisioner KPI Pusat yang sudah menjabat 2 periode, dan baru-baru ini diangkat oleh Menparekraf Sandiaga Uno menjadi Penasehat, atau Advisor.
Selain tantangan, mantan Ketua KPI Pusat periode 2016-2019 itu melihat adanya peluang dengan digitalisasi tadi, dimana dengan beragamnya siaran-siaran, sehingga menuntut adanya konten yang kreatif dan inovatif. Seperti halnya Korea Selatan yang penuh kreativitas, Ia berharap Indonesia suatu saat punya Hollywood sendiri.
Sementara itu narasumber lain, Neil R Tobing, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) berharap ada perlakuan yang adil terhadap media penyiaran mainstream yang diatur secara ketat, sementara raksasa-raksasa platform media sosial dibiarkan bebas saja.
“Mereka juga membidik masyarakat dengan konten yang sama dengan media mainstream, dan parahnya mereka juga beriklan. Mereka bebas saja, sementara kita terakreditasi dan tidak mungkin macam-macam,” ujar Neil, yang berharap ada program kesetaraan, sehingga menjamin keberlangsungan usaha media mainstream.
Apa yang menjadi keresahan Neil, dijawab oleh narasumber Anggota Komisi I DPR RI Sukamta bahwa saat ini sedang dilakukan revisi terhadap UU No 32 Tahun 2002, yang akan memuat regulasi mengenai siaran-siaran di luar lembaga penyiaran mainstream tadi, dan akan memberikan penguatan kepada KPI secara kelembagaan dan fungsinya.
Acara seminar nasional yang dibuka oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi yang sekaligus menjadi keynote speaker, turut menjadi narasumber lainnya, Ahli Utama KSP Prof Sri Ruhani Dzuhayatin, dan dihadiri oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Al Makin, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X yang diwakili Asisten II Sekda DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan Tri Satiyana, serta ratusan dosen, peneliti, praktisi media, dan mahasiswa.
(Ika)