JAKARTA, AmanMakmur.com — Komite I DPD RI menggelar Rapat Kerja (Raker) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo RI) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN RI) di Gedung DPD RI, Komplek Senayan, Selasa (5/4)
Hadir dalam rapat kerja Komite I DPD RI, Samuel Abrijani Pangerapan (Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI), Irjen Pol Dono Indarto (Deputi Bidang Strategi dan Kebijakan Keamanan Siber dan Sandi), serta Marsma TNI Budi R Leman (Plt. Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Pemerintah dan Pengembangan Manusia).
Dalam Rapat Kerja tersebut Komite I DPD RI turut mengapresiasi kebijakan Kominfo RI dalam peningkatan sistem teknologi digital dan pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika di daerah. Selain itu juga Komite I mendukung penguatan keamanan siber di Indonesia dengan mendorong percepatan Revisi UU ITE.
Adapun Revisi Materi UU ITE materi perubahan pasal diantaranya sebagai berikut; Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36. Selanjutnya Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), Pasal 45 A ayat (1), Pasal 45 A ayat (2). Penambahan Pasal Nomor, Perbuatan; Pasal 27 ayat (2)
Pasal 28 Ayat (2). Ancaman Pidana ; Pasal 45 ayat (5), Pasal 45 ayat (6), Pasal 45 ayat (7), Pasal 45 ayat (8), Pasal 45 ayat (9), Pasal 45 A ayat (3).
Dengan hal ini Komite I DPD RI mendorong Kemenkominfo RI dan BSSN melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya melakukan perlindungan data pribadi warga negara dalam transaksi. “Komite I DPD RI mendorong percepatan perubahan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujar Ketua Komite I Fachrul Razi dalam rapat, Rabu (6/4).
Lebih lanjut, Adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) ini awalnya disusun untuk menjadi payung hukum transaksi bisnis di dunia elektronik. Namun setelah Undang-Undang ini disahkan dan dilaksanakan, landasan hukum transaksi online ternyata tidak digunakan secara optimal oleh masyarakat.
Beberapa kalangan menilai bahwa Undang-Undang ITE seringkali dijadikan instrumen kriminalisasi, saling lapor, alat untuk kepentingan kekuasaan yang pada akhirnya menghambat kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Hal itu sebagai akibat adanya beberapa pasal yang dikategorikan sebagai “pasal karet”.
Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sempat mengalami revisi pada tahun 2016. Namun, beberapa kalangan menilai bahwa revisi tersebut berjalan setengah hati. Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini sebagai bentuk pemberian legitimasi kepada kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah beriringan dengan perhatian publik.
Beberapa waktu lalu Presiden membuat pernyataan yang meminta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik direvisi. Revisi dilakukan jika Undang-Undang tersebut dipandang tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Senator Fachrul Razi menambahkan, Bagi Komite I DPD-RI, pernyataan Presiden tersebut merupakan sinyal positif dalam konteks upaya memperbaiki beberapa pasal yang selama ini dinilai memicu masalah dalam penegakan hukum, pernyataan itu dapat pula dimaknai sebagai bentuk tanggapan terhadap semakin inovatifnya perkembangan teknologi dan informasi.
Komite I juga berpandangan bahwa revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dirasa penting karena beberapa tahun terakhir terdapat proses legislasi yang bersinggungan dengan UU ITE. Regulasi yang dimaksud antara lain pembahasan RUU perlindungan Data Pribadi, RUU Keamanan Cyber, rencana revisi Undang-Undang Penyiaran dan UndangUndang Telekomunikasi.
Terkait hal itu, DPD-RI telah menerima tembusan Surat Presiden tentang perubahan Undang-Undang Informasi dan transaksi elektronik. Berdasarkan surpres tersebut membuat DPD merasa perlu memperoleh berbagai informasi terkait rencana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, termasuk informasi terkait pasal dan substansi yang akan diubah, disamping itu DPD RI juga menuntut munculnya berbagai permasalahan atas informasi dan transaksi elektronik. Terkait informasi elektronik berbagai media sosial bermunculan, namun pada praktiknya informasi-informasi tersebut menyebabkan keresahan publik. Banyaknya konten yang dikategorikan berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian semakin membuat masyarakat tidak nyaman.
Fachrul Razi menyebutkan, Implikasi lain dari penggunaan elektronik pada setiap aktivitas transaksi adalah rentannya data pengguna bocor ke pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kebocoran data yang dimuat di kartu Tanda Penduduk (KTP), data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), data hasil tes Covid-19, paspor dan lain-lain serta pembajakan Website Kementrian/Lembaga.
“Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Komite I DPD RI melaksanakan Rapat Kerja dengan Kemenkominfo RI dan Badan Siber Dan Sandi Negara Republik Indonesia. Demikian beberapa isu strategis yang ingin kami diskusikan dalam kesempatan rapat kerja kali ini, kepada Dirjen Aplikasi Informatika Republik Indonesia dan Deputi I Badan Siber Dan Sandi Negara Republik Indonesia kami persilahkan untuk menyampaikan,” paparannya.
(Rel/dpd)