SABTU siang tanggal 26 Maret 2022 saya membuka WhatsApp (WA), salah satu yang saya buka adalah Grup WA Top100, grup yang dulu adminnya pernah dipanggil polisi tepatnya Polda Sumbar, karena konten yang di-share salah satu anggota grup dilaporkan Ketua DPRD Kabupaten Solok ke polisi.
Tadi itu ada satu foto yang menarik yang di-share oleh salah satu anggota grup Pak Hidayat, anggota DPRD Sumbar, yaitu foto mobil dinas Gubernur Sumbar lengkap dengan BA 1 -nya plat merah dan di sampingnya berdiri Pak Hidayat.
Macam-macam tanggapan anggota grup. Ada yang komen kalau Pak Hidayat sedang berkhayal menaiki mobil mewah merek Pajero tersebut. Tapi ada juga komentar, yang mengingatkan kepada kehebohan dan riuh rendahnya pemberitaan terhadap kontroversi pembelian mobil dinas tersebut saat pandemi merambah Indonesia, tak terkecuali Sumbar beberapa waktu lalu.
Saya sendiri pada dasarnya termasuk yang tidak mempersoalkan pembelian mobil dinas tersebut ketika itu, karena pembelian mobil dinas tersebut sudah sesuai ketentuan dan sudah ada anggarannya dalam APBD Provinsi Sumbar tahun 2021.
Kalau ada yang menganggapnya tidak sesuai kepantasan, itu ya boleh-boleh saja. Namun ukuran kepantasan dan selera kepantasan setiap orang kan berbeda-beda, baik karena pengaruh pendidikan, lingkungan maupun motif, terlebih lagi motif politik. Hehehe.
Pemberitaan tentang kontroversi pembelian mobil dinas Gubernur Sumbar ketika itu memang cukup gencar, tidak hanya di Sumbar, tapi juga di tingkat nasional. Pemberitaan yang gencar tersebut ditenggarai salah satunya disebabkan oleh respons “jubir amatir” gubernur yang kurang proporsional dan kurang profesional yang meremehkan peran dan pengaruh media dalam sebuah pemberitaan.
Ada sebuah kalimat yang disampaikan “jubir amatir” gubernur ketika itu bahwa “pemberitaan tidak akan berpengaruh kepada amai-amai”.
Pernyataan konyol tersebut patut diduga membuat sebagian jurnalis tersentak dan kemudian membuktikan bahwa pemberitaan sangat berpengaruh besar kepada citra pejabat publik, tidak terkecuali kepada Gubernur Sumbar.
Akhirnya ketika itu, akibat pemberitaan yang gencar Gubernur Sumbar Mahyeldi “menyerah” dan ada juga yang mengatakannya manggok atau merajuk dengan menyerahkan mobil dinas yang heboh itu kepada BPBD Sumbar, untuk mendukung kegiatan dan operasional BPBD Sumbar.
Penulis sendiri merasa kaget dan geli dengan sikap Gubernur Mahyeldi tersebut, yang mau tak mau secara politik “harus” diikuti oleh Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy.
Kenapa harus reaktif dengan kritik terhadap mobil dinas tersebut. Kritik-kan hal biasa dalam demokrasi, dan kritik sudah makanan sehari-hari pejabat publik. Bukankah ketika jadi anggota DPRD dulu Pak Mahyeldi juga pernah mengkritik gubernur yang ketika itu dijabat oleh Pak Gamawan Fauzi dan bahkan mungkin atau patut diduga juga ikut mengkritik pembelian mobil dinas gubernur ketika itu!?
Dalam menyikapi kritik ada baiknya gubernur mencontoh presiden. Kritik terhadap presiden jauh lebih hebat dan dahsyat dibanding yang diterima Gubernur Sumbar. Tak hanya kritik bahkan cacian, hinaan dan fitnah juga gencar diarahkan kepada presiden.
Tapi presiden tetap dapat bersikap sabar, proporsional dan wajar. Kritik dijawab dengan penjelasan yang memadai dan penilaian selanjutnya diserahkan kepada publik.
Di saat kritik menimpa gubernur soal mobil dinas, presiden juga dikritk soal pesawat dinas yang berganti cat menjadi warna merah putih dengan biaya miliaran rupiah. Berbagai pihak mengkritik presiden dengan keras termasuk partai politik, di antaranya PKS, partainya Gubernur Mahyeldi.
Tapi pesawatnya tetap ganti cat dan presiden tidak menyerahkan pesawat atau catnya kepada BNPB dan seiring waktu kritik menghilang. Jadi kritik adalah keniscayaan seniscayanya demokrasi.
Atau Gubernur Mahyeldi bisa juga belajar menyikapi kritik kepada Andre Rosiade, anggota DPR RI dari Gerindra. Walaupun juga sering dihujani kritik, Andre tetap bersikap proporsional, dan Andre terus bekerja nyata untuk rakyat dan respons cepat terhadap aspirasi, permasalahan dan kondisi terkini di tengah rakyat. Tak hanya di dapilnya tetapi di seluruh Sumbar.
Kerja nyata Andre pantas jadi rujukan Pak Gubernur dalam menyikapi kritik agar tidak hanyut dan hilang ditelan kritik.
Nah sekarang kembali kepada mobil dinas Gubernur Sumbar yang fotonya muncul di Grup WA 100 itu. Apa betul mobil yang dulu diserahkan gubernur ke BPBD “diam-diam” dipakai atau diambil kembali oleh Gubernur Mahyeldi untuk dijadikan mobil dinas?
Jika betul, itu sah-sah saja, karena mobil itu memang tidak tepat dipakai BPBD karena spesifikasinya memang untuk gubernur.
Seandainya ada kritik terhadap pemakaian mobil dinas, maka biarkan saja-lah kritik tersebut, walaupun sebenarnya memang berkelebat pertanyaan dalam kepala, “kalau toh mau dipakai juga kenapa dulu pakai diserahkan pula ke BPBD”?
Dan kalau mau, jubir gubernur bisa membuat framing kalau gubernur sangat rendah hati karena mau memakai mobil dinas bekas dari anak buah di BPBD. Tapi janganlah di-framing begitu, karena itu sama dengan menyindir diri sendiri. Hehehe.
Yang perlu dilakukan Gubernur Mahyeldi saat ini adalah mengingatkan “jubir amatir” maupun jubir resmi Pemprov Sumbar agar jangan reaktif dan berlebihan dalam menyikapi jika ada kritik, terhadap pemakaian “mobil bekas BPBD” ini, sebagai kendaraan dinas gubernur.
Pemakaian mobil ini kembali bisa diibaratkan “siriah lah pulang ka tampuaknyo, pinang lah pulang ka tangkainyo“. Betul atau tidak perumpamaan yang saya pakai itu sidang pembaca? Jika salah tolong diluruskan. Saya tak mau terjadi seperti penulis yang keliru memahami “Karatau madang di Ulu” beberapa waktu lalu itu. Hehehe.
Saya sendiri tak tertarik sebenarnya menanggapi secara serius apalagi membuat tulisan tentang mobil dinas eks BPBD yang kembali dipakai Gubernur Mahyeldi ini, dalam grup WA tersebut saya menanggapi hanya sambil bercanda saja, tapi memang agak “garah kudo“, begitu juga anggota grup yang lain. Sebut saja Bung Novermal Yuska anggota DPRD Pessel, dia akan mengundang gubernur makan randang lokan ke Pessel memakai mobil bekas yang baru tersebut.
Yang agak luar biasa justru tanggapan dari seorang pejabat Pemprov Sumbar di grup tersebut yang sepertinya sangat reaktif dan kebakaran jenggot terhadap tanggapan yang diberikan oleh beberapa anggota grup.
Hal inilah yang membuat saya tergelitik membuat tulisan ini, sebagai pesan terbuka kepada Gubernur Mahyeldi untuk mengingatkan jajarannya agar tidak bereaksi berlebihan terhadap kritik dan tidak membuat pernyataan yg keliru seperti yang kemaren terjadi terhadap Bupati Solok yang tidak hadir dalam Rakor Provinsi.
Pernyataan “jubir” Pemprov Sumbar yang sekaligus kepala dinas yang “menegur”, menyayangkan dan menganggap Bupati Solok tidak menghargai Pemprov Sumbar secara terbuka memang tidak pada tempatnya juga. Hal itu sama saja membukakan jalan atau lampu hijau bagi Bupati Solok untuk mengritik Gubernur Sumbar secara terbuka pula melalui media.
Seharusnya jika memang perlu ada teguran atau peringatan semestinya gubernur langsung yang melakukannya, baik lisan maupun tertulis, namun dilakukan secara tertutup, tidak terbuka melalui media.
Akhirnya saya mengucapkan selamat menggunakan “mobil dinas bekas” tapi baru Pak Gubernur. Semoga dengan pemakaian mobil dinas tersebut kinerja Pak Gubernur dalam melayani masyarakat bertambah baik. Jangan terpengaruh terhadap kritik atas pemakaian kembali mobil dinas tersebut. Kritik perlu kita hargai, tapi tidak setiap kritik dibiarkan merubah kebijakan kita.
Karena apapun yang dilakukan di alam demokrasi tak akan ada yang bebas dari kritik. Tapi sekali lagi Pak Gubernur, tolong ingatkan jubirnya baik yang “amatir” maupun yang resmi. Jangan sampai bereaksi berlebihan dan jangan membuat pernyataan teguran yang bukan kapasitasnya. *)
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, Politik dan Budaya / Mantan Anggota DPRD Sumbar