JAKARTA, AmanMakmur.com –— Ketua Pansus PCR DPD RI, Fahira Idris mengatakan perlunya menggali informasi yang lebih dalam tentang kebijakan pemerintah terkait tes PCR.
“Inilah yang melatarbelakangi Pansus PCR mengundang pihak pemerintah dalam rapat kerja hari ini,” ujarnya saat membuka raker Pansus dengan Kementerian Kesehatan dan BNPB, Selasa (15/2).
“Pada raker yang lalu, kami sudah mendengar analisa Faisal Basri sebagai ekonom dan akademisi, serta Akbar Faizal selaku analis kebijakan publik. Kami mendapat banyak masukan dari kedua pakar itu. Faisal Basri misalnya, menilai bahwa pemerintah mengambil sudut pandang yang keliru terhadap tes PCR. Tes PCR diperlakukan sebagai public good, bukan public heath. Akibatnya, tes PCR dilihat sebagai peluang bisnis untuk mengeruk keuntungan. Bukan sebagai instrumen untuk menjaga kesehatan masyarakat,” ujar Fahira mengutip keterangan Faisal Basri, Ekonom UI.
Rapat kerja berlangsung secara luring dan daring. Di ruang rapat DPD RI, Fahira Idris senator dari DKI Jakarta dan Arniza Nilawati dari Sumatera Selatan, didampingi oleh sejumlah staf sekretariat dan staf ahli.
Sementara anggota Pansus yang lain memilih hadir secara daring. Wakil Menteri Kesehatan RI, dr Dante Saksono Harbuwono serta Kepala BNPB, Suharyanto juga hadir secara daring.
Mendapat kesempatan pertama menyajikan materi, Wamenkes RI melaporkan semua data mutakhir terkait pandemi Covid-19 secara umum. Semisal total jejaring laboratorium di Indonesia yang berjumlah 977, yang 55% diantaranya dimiliki oleh pemerintah, dan setiap hari mampu memeriksa 82 ribu orang perhari, dan lain sebagainya.
“Ada empat kesimpulan terkait tes PCR. Pertama, positivity rate dari exit test pelaku perjalanan cukup tinggi. Lebih dari 5 persen. Kedua, sesuai aturan WHO, dibutuhkan kurang-lebih 224 ribu orang dites perhari. Ketiga, 33% dari pemeriksaan sekarang mengandalkan metode NAAT, termasuk tes PCR). Kit atau reagen pemeriksaan PCR telah dapat diproduksi dalam negeri. Keempat, Kemenkes telah menyusun, jejaring laboratorium pembina, tiga mekanisme pengujian laboratorium, serta pembinaan dan pengawasan dengan Dinkes untuk memastikan mutu pemeriksaan dan kinerja laboratorium pemeriksa COVID-19,” papar Dante Saksono.
Sementara Kepala BNPB menyatakan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 dievalusi setiap minggu untuk menentukan langkah yang paling tepat terhadap upaya menekan angka penularan Covid-19.
“Dalam istilah kami, kebijakan penanganan Covid-19 adalah menarik rem dan menginjak gas sesuai dengan kebituhan. Inilah mengapa kebijakan pemerintah bersifat dinamis. Banyak pertimbangan di balik penerapan kebijakan. Misalnya, mengapa dulu karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri harus 14 hari, kemudian turun menjadi lima hari, ke depan akan diterapkan tiga hari. Tapi hanya khusus bagi yang sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga atau boster. Untuk yang belum vaksin dosis tiga, tetap karantina lima hari. Mengapa berbeda? Karena daya tahan tubuh orang yang mendapat vaksin dosis ketiga tentu tidak sama dengan yang belum. Negara titik berangkat masyarakat juga tidak sama. Ada yang datang dari negara dengan tingkat penularan tinggi. Ada yang datang dari negara yang tingkat penularannya rendah, dan seterusnya. Inilah salah satu yang melatari perbedaan terapi bagi orang-orang yang datang dari luar negeri,” pungkas Kepada BNPB.
Sementara itu, Arniza Nilawati meminta supaya pemerintah dan semua yang terlibat dalam tes PCR jangan melihatnya sebagai peluang bisnis. Tapi utamakan kemanusiaan.
“Saya minta pemerintah untuk beriksp tegas kepada laboratorium, klinik, atau fasilitas kesehatan yang menetapkan tarif PCR secara sepihak dan seenak perutnya sendiri. Pemerintah juga harus transparan dalam memberikan informasi terkait harga komponen tes PCR, supaya masyarakat mendapatkan gambaran yang jelas tentang harga yang seharusnya, saat mereka melakukan tes PCR,” pungkas senator dari Sumsel.
Adapun Elviana senator dari Jambi mempertanyakan kebijakan PCR yang terkesan diskriminatif dan tidak jelas. “Kalau memang tes PCR dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, mengapa hanya wajib bagi penumpang pesawat? Sedangkan penumpang ketera dan bus tidak? Kebijakan tes PCR terkadang juga berlebihan, karena juga diberlakukan kepada anak usia 10 bulan. Bayi. Masak bayi mau dicolok-colok hitung dan tenggorokannya? Bukankah dengan memeriksa ibunya atau orang tuanya saja sudah cukup? Dan masih banyak lagi keluhan masyarakat yang lain,” ujarnya.
(Rel/dpd)