JAKARTA, AmanMakmur.com —Komite I DPD RI menilai bahwa saat ini di berbagai daerah masih terjadi persoalan tata ruang. Adanya kegiatan alih fungsi lahan yang tidak terkontrol, menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam perwujudan ketahanan pangan nasional. Padahal sejak 25 tahun lalu, Indonesia sudah memiliki UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fernando Sinaga menjelaskan bahwa adanya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merevisi UU Penataan Ruang justru menambah permasalahan tata ruang karena ditariknya kewenangan daerah ke tingkat pusat. Hal tersebut memunculkan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan ruang nampak dan munculnya berbagai masalah dalam penataan ruang, mulai dari konflik kepentingan, tidak sinkronnya koordinasi tata ruang antar daerah, sampai penyimpangan pemanfaatan ruang di wilayah-wilayah tertentu.
“Di samping itu, pengawasan terhadap pemenuhan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang juga menjadi isu yang perlu diperhatikan, karena praktiknya selama ini partisipasi masyarakat kerap diabaikan. Padahal, masyarakat juga dapat memiliki peran yang besar untuk membantu pemerintah dalam mengontrol pemanfaatan ruang,” imbuhnya dalam RDPU Komite I DPD RI membahas Evaluasi UU No. 26 Tahun 2007, Senin (24/1).
Senada dengan Fernando Sinaga, Senator dari Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengatakan bahwa munculnya UU Cipta Kerja memunculkan sentralistik yang luar biasa. UU tersebut membuat daerah tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat. Dirinya menyamakan UU Cipta Kerja seperti UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang berorientasi pada kapitalis, dalam hal ini investasi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan isu dan permasalahan tata ruang sebagai dampak dari pembangunan yang tidak terkontrol.
“Ini sepertinya ada suatu upaya di mana spirit dari pemerintah tidak lain bagaimana menarik investasi sebesar-besarnya, sehingga semua frasa yang ada UU No. 26/2007 yang terkait investasi yang menjadi kewenangan daerah, itu ditarik,” jelasnya.
Sementara itu, Senator dari Sumatera Barat Alirman Sori menjelaskan bahwa sejak kelahiran UU No. 26/2007 sampai adanya UU Cipta Kerja, isu penataan ruang sudah mati suri. Sejak tahun 2007 , tidak ada peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No. 26/2007 yang diterbitkan, padahal dalam UU tersebut telah diamanatkan. Kekosongan hukum tersebut dinilai memunculkan berbagai permasalahan serius yang dihadapi bangsa Indonesia.
“UU Penataan ruang ini belum bisa memberikan keadilan, rasa kepastian hukum, dan belum dirasakan kemanfaatannya,” ucap Alirman.
Dalam kesempatan yang sama, Senator dari Nusa Tenggara Timur Abraham Liyanto menyatakan keheranannya akan masih adanya tumpang tindih pembangunan di daerah meski sudah ada UU yang mengatur penataan ruang sejak tahun 2007. Menurutnya dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia, baru 10% yang punya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sebelumnya, dalam RDPU tersebut, perwakilan dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor Mujiyo menjelaskan, saat ini terjadi tumpang tindih regulasi terkait tata ruang wilayah di Indonesia. Menurutnya isu tata ruang sangat krusial karena salah satunya terkait pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan. Apalagi saat ini banyak lahan pangan yang beralih fungsi dikarenakan adanya pembangunan.
“Apakah kita bisa mempertahankan 7.1 hektar untuk kebutuhan tahun 2045. Apakah peraturan tata ruang ini bisa mengawal, menyelamatkan, dan mempertahankan sawah. Bahkan analisis BPN tahun 2014 menunjukkan seluruh dokumen RTRW di seluruh daerah di tahun 2014 justru merencanakan alih fungsi lahan sawah,” jelasnya.
(Rel/dpd)