JAWA TIMUR, AmanMakmur.com — DPD RI secara konsisten menggaungkan amandemen ke-5 konstitusi.
Wakil Komite I DPD RI, Fachrul Razi mengatakan, hal tersebut dilakukan lantaran ia dan rekan-rekannya di DPD RI tak mau Indonesia menjadi negara yang gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.
“Sebab, hari ini oligarki partai politik melemahkan keberadaan civil society. Tentu ini sangat berbahaya dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” kata Fachrul Razi saat menjadi narasumber Simposium Politik; Terbunuhnya Sistem Demokrasi Akibat Presidential Treshold dan Kepentingan Partai Politik di UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Sabtu (20/11).
Senator asal Aceh itu melanjutkan, Indonesia sedang berada dalam fase kepemimpinan oligarki. Dalam teori politik, semestinya oligarki mengarahkan kita pada sistem demokrasi. Tetapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, demokrasi yang mengantarkan kita pada kekuasaan oligarki.
“Kekuatan partai politik yang menguasai berbagai lini keputusan strategis bangsa ini. Oligarki ini sangat berbahaya. Maka, negara ini perlu kita selamatkan dari cengkraman oligarki,” tegas dia.
Maka, perlu ada keseimbangan politik yang kuat antarlembaga tinggi negara. Dikatakannya, saat ini trlah terjadi pergeseran nilai Pancasila yan menjurus pada hilangnya arah masa depan bangsa ini.
“Bangsa kita telah kehilangan arah, mau ke mana kita tahun 2045 dalam rangka Indonesia Emas. Yang terjadi saat ini ketataanegaraan telah bergeser dari Pancasila sebagai pondasi bangsa ini. Maka, butuh Garis Besar Haluan Negara,” katanya.
Saat ini, demokrasi kita tengah berada dalam ancaman.
“Keputusan elit politik yang dibangun berbahaya terhadap kondisi daerah. Tidak ada penyeimbang. DPD RI kewenangannya terbatas, sehingga tak bisa menjadi penyeimbang. Kami hanya stempel pemerintahan ini. Maka, kami ingin mengembalikan penguatan kelembagaan DPD RI dan lembaga-lembaga lainnya di Republik ini,” ujarnya.
Menurut Fachrul Razi, ketika oligarki politik dikuasai oligarki hukum, lalu oligarki hukum dikuasai oleh oligarki ekonomi, maka segala keputusan yang diambil akan bersifat transaksional.
“Dalam Pilpres atau Pilkada misalnya, siapapun yang bertarung nantinya, semua diatur oleh mafia ekonomi. Ada transaksional politik. Ada modal politik yang harus dikembalikan. Maka, sumber daya alam kompensasinya. Demokrasi kita tercemari oleh oligarki yang mencengkram kuat. Tak hanya di parlemen, tapi juga di sektor hukum dan lainnya,” kata dia.
Menurut Fachrul Razi, konstitusi kita menjadi pertaruhan apakah Republik ini selamat dari cengkeraman oligarki atau sebaliknya, semakin terjerambab ke dalam.
“Kami berjuang mendorong amandemen konstitusi. Republik ini harus diselamatkan dengan GBHN yang jelas. Jepang misalnya ketika terjadi perubahan kekuasaan, tak terjadi arah yang berubah. Sekarang di Indonesia oligarki akan mengubah sistem sesuai mau mereka,” tegas dia.
Terakhir, ia menyoroti sistem presidensil. Saat ini, dengan sistem presidensil, Indonesia tengah mengarah pada new otoritarianism.
“Ini berbahaya. Kita ingin Presidential Treshold dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. Kami ingin memberi ruang kepada putra-putri terbaik berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Sekarang ini, sistem presidensil membust dinasti politik menguasai bangsa ini. Semua sudah diatur siapa presidennya, gubernurnya, bupatinya. Kedaulatan hanya ada di kotak suara. Faktanya sekarang begitu,” ujarnya.
Narasumber lainnya, Anwar Sadad mengatakan, sejak awal, bangsa kita adalah bangsa yang plural dengan berbagai keyakinan yang melatarbelakangi.
“Negara dibangun atas prinsip kebangsaan atau nation. Inilah konsensus bangsa ini di awal kemerdekaan. Prinsip demokrasi, ketika kekuasaan rakyat diwakilkan, maka ada seleksi alam. Pada titik itu harus ada mekanisme check and balance,” kata dia.
Jika tidak, maka dikhawatirkan bangsa ini akan dipimpin oleh figur-figur yang tak qualified.
“Tugas kita memperbaiki kualitas tokoh bangsa dan kelembagaan-kelembagaan yang ada. Tapi, tantangan zaman berbeda dari dulu hingga sekarang,” tutur dia.
Sebelumnya, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menegaskan jika Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi.
“Apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” kata LaNyalla.
Dijelaskannya, pendapat itu jelas terungkap saat dirinya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dari tiga narasumber pakar hukum tata negara dalam FGD, semua mengatakan tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
“Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Disebutkan bahwa Ambang Batas Keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” paparnya.
Sedangkan Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; ‘Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum‘.
“Artinya setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan,” ujar dia.
(Rel/dpd)