
(Tanggapan terhadap tulisan bung Miko Kamal yang berjudul “Buya Gubernur Tak Pernah Minta Sumbangan“)
PAGI-PAGI saya terperangah membaca tulisan Miko Kamal yg diposting di WAG TOP 100. Saya tak menyangka tulisan ini lahir dari pemikiran dan ujung jari seorang Miko Kamal.
Jauh sebelum ini, secara pribadi saya tidak mengenal bung Miko Kamal.
Yang saya kenal sebelum ini dari bung Miko Kamal adalah reputasinya!!!
Reputasi yang amat mentereng, reputasi yang amat mengkilap sebagai aktivis, melebihi mengkilap mobil baru Gubernur yang heboh itu !!!
Walaupun sebenarnya bung Miko kamal juga punya reputasi tak kalah hebat di bidang lain, karena beliau juga ternyata adalah seorang dosen yg hebat dan pengacara yang hebat. Tapi yang melekat dalam kepala dan pikiran bawah sadar saya adalah reputasi bung Miko Kamal sebagai aktivis anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang handal, mentereng lagi mengkilap.
Tapi akhirnya nasib baik berpihak kepada saya, dimana saya berkesempatan berkenalan secara pribadi dengan Miko Kamal. Kami sama-sama diundang jadi anggota oleh admin WAG TOP 100, yang kemarin adminnya baru saja dipanggil polisi Polda karena sebuah postingan salah seorang anggotanya dilaporkan oleh Ketua DPRD Kabupaten Solok.
Saya juga akhirnya bertemu secara fisik dan berdiskusi dengan bung Miko Kamal, karena WAG TOP 100 ini sering melakukan kopi darat dan menurut pengakuan adminnya TOP 100 juga telah melakukan 14 kali FGD untuk berbagai topik aktual di Sumatera Barat. Kebenaran jumlah FGD ini saya tidak tahu, entah iya entah tidak karena saya tak ikut menghitungnya.
Tadi di atas saya mengatakan kalau saya ternganga membaca tulisan bung Miko Kamal tentang surat minta sumbangan Gubernur Sumbar. Selain ternganga dikaitkan dengan reputasi bung Miko Kamal sebagai penulis. Saya juga ternganga dengan cara-cara pembelaan yang dilakukan bung Miko Kamal dalam tulisannya tersebut.
Kesan saya pembelaan yang dilakukan bung Miko Kamal dalam tulisan tersebut terasa mengada-ada dan membuta (tanpa babi).
Bung Miko Kamal mengatakan tidak ada diksi sumbangan dalam surat tersebut. Kata sumbangan memang tidak ditemukan dalam surat teraebut, tetapi ada kata dan kalimat mohon partisipasi dan konstribusi untuk pembiayaan pembuatan buku. Apakah kata partisipasi dan kontribusi untuk pembiayaan dalam surat tersebut tidak bisa disebut sumbangan???
Menurut hemat saya, kedua kata asing tersebut dapat diartikan sebagai sumbangan dalam bahasa umum dan bahasa sehari hari. Pemberian dana dari masyarakat kepada pemerintah paling tidak bisa dikategorikan dalam dua kelompok yaitu Pajak dan Restribusi, di luar itu maka bisa disebut sebagai sumbangan.
Dengan pemahaman ini rasanya tak ada yang keliru dengan pemakaian diksi sumbangan dalam heboh surat gubernur tersebut.
Saya tak akan berpanjang panjang soal diksi sumbangan masalah ini, karena substansi masalahnya bukan di sini. Jika berlama-lama dalam debat masalah diksi ini, maka kita akan teralih dari substansi masalah sebenarnya, yang bukan tidak mungkin sengaja masalah diksi ini diangkat penulis untuk mengaburkan dan menjauhkan kita dari substansi sebenarnya terhadap surat gubernur tersebut.
Di atas saya juga mengatakan pembelaan bung Miko dalam tulisannya mengada-ada, kenapa? Ada kalimat seolah-olah yang akan membuat buku tersebut adalah perusahaan. Padahal dalam surat tersebut tidak ada kata perusahaan, bahkan siapa dan pihak mana yang akan membuat dan mengerjakan buku tersebut tidak disinggung sama sekali. Sehingga pembaca yang tidak tahu sengkarut surat tersebut pasti akan beranggapan yang minta sumbangan adalah gubernur dan yang akan membuat buku tersebut adalah gubernur atau pemerintah daerah.
Sama seperti bung Miko Kamal, saya juga punya suratnya, kalau ada yang mau boleh juga saya kirim. Tapi tidak yang asli ya, tidak yang ada tanda tangan asli dan cap basah. Kalau yang itu tak sembarang orang bisa dapat, itu hanya untuk ES dkk, itu khusus orang dekat atau orang dalam, hehehe.
Kemudian “tudingan” bung Miko Kamal yang mengatakan bahwa beberapa politisi, pengamat, dan penegak hukum termasuk KPK terbawa gorengan adalah menyesatkan. Karena justru kontroversi surat gubernur bermula dengan ditangkapnya 5 orang yang diduga melakukan penipuan menggunakan surat gubernur oleh polisi.
Polisi bertindak juga bermula dari adanya laporan masyarakat penyumbang yang merasa curiga dengan adanya oknum minta sumbangan dengan berbekal surat resmi gubernur tapi uangnya dikirim ke rekening pribadi.
Jadi masalah surat gubernur ini bermula di sini bung Miko. Bukan bermula dari gorengan medsos, kemudian aparat bertindak, jangan dibalik-balik bung Miko.
Kemudian jadi pertanyaan bagi saya, penyumbang yang awam dan tidak mengerti hukum saja tahu kalau ada yang aneh dan janggal dalam proses dan mekanisme sumbangan ini, tapi bung Miko yang sangat ahli dalam hukum dan terkenal sangat anti KKN tak melihat kejanggalan dalam kasus ini?
Menurut penyumbang yang awam tadi, sumbangan berdasar surat resmi kok masuknya ke rekening pribadi???
Sementara itu bung Miko sebagai aktivis anti KKN seolah-olah menganggap hal demikian wajar-wajar saja. Bahkan dianggap terpuji. Ada apa dengan bung Miko, masihkah sampai sekarang anti KKN?
Saya memang agak sulit memahami sikap bung Miko terhadap masalah surat ini, tidak hanya saya. Bahkan beberapa kawan lain yang mengenal bung Miko mengatakan “Kita kehilangan Miko Kamal” katanya.
“Selamatkan Miko Kamal” kata yg lain. Dan jangan salah paham bung Miko itu adalah ungkapan cinta mereka pada bung Miko. Tapi ada juga yang mengungkapkannya dengan cara yang agak frustrasi “Selamat jalan Miko Kamal,” katanya.
Sampai sekarang saya juga masih berpikir-pikir, apakah karena “tampek tagak” bung Miko bersikap demikian atau karena apa? Atau memang ini konsekuensi jabatan atau tugas. Karena saya dengar-dengar bung Miko telah diangkat gubernur jadi Ketua Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM)?? Tapi saya tak mau panjang-panjang betul berpikir tentang kenapanya, Pusing… soalnya.
Tapi terlepas dari apa yang melatarbelakangi sikap bung Miko yang dicerminkan dalam tulisan-tulisannya, saya merasa ini adalah “Tragedi seorang aktivis anti Korupsi”
Catatan: Seandainya polisi pada akhirnya menganggap bahwa surat gubernur ini boleh dan wajar-wajar saja, dianggap tak ada hukum, etika dan norma yang dilanggar. Maka saya akan minta surat sumbangan serupa surat gubernur ini kepada Kapolda. Surat dengan Kop Kapolda, tanda tangan asli Kapolda, dan Cap Kapolda. Orang, badan hukum dan pengusaha pertama yang saya datangi dengan surat ini adalah bung Miko Kamal.
Penulis adalah mantan Anggota DPRD Sumbar