JAKARTA, AmanMakmur —Anggota DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Provinsi Papua Selatan Rudy Tirtayana, SE, beserta Wakil Ketua DPD RI Yorrys Raweyai dan beberapa anggota DPD RI lainnya menerima audensi perwakilan tokoh masyarakat adat Merauke pada 15 Oktober 2024 lalu.
Hadir dalam audiensi tersebut perwakilan dari masyarakat adat Papua Selatan; Haryston Gebed Phete dari Suku Malind Makleuw, Vincent Kwipalo dari Suku Yei, Sinta Gebze dari Suku Malind Makleuw, Simon Petrus Balagaize dari Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digoel, Johnny Teddy Wakum dari Solidaritas Merauke, Pastor Pius Manu Pr dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, dan Frangki Samperante dari Yayasan Pusaka.
Dalam audensi ini mereka menyampaikan kritikan dan penolakan atas program Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, untuk mencetak 1 juta hektar sawah.
Frangki Samperante dari Yayasan Pusaka mengatakan PSN ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta prinsip Free Prior Informed Consent.
Lokasi proyek ini berada pada kawasan hutan adat dan terdapat lokasi dengan nilai konservasi tinggi. Perwakilan pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menyatakan, tanah mereka telah digusur.
Solidaritas Merauke mendesak pemerintah menghentikan program food estate Merauke, Papua Selatan. Proyek food estate sudah berkali-kali gagal namun justru diteruskan di hampir semua rezim presiden. Merauke sendiri juga babak belur kena perampasan lahan dan deforetasi karena food estate.
Pastor Pius Manu, tokoh agama dan pemilik tanah adat, menyebutkan proyek itu berlangsung brutal karena berjalan tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi untuk mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat.
Rudy Tirtayana, selaku anggota Komite IV DPD RI Provinsi Papua Selatan, dalam kesempatan ini menekankan bahwa meskipun program food estate menjadi prioritas pemerintah untuk ketahanan pangan nasional, perusahaan-perusahaan yang terlibat harus mendengarkan keinginan masyarakat setempat.
Ia menegaskan pentingnya dialog dengan warga dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Ia juga menyatakan bahwa istilah yang tepat untuk kompensasi adalah “ganti untung,” bukan “ganti rugi.”
Rudy Titayana menambahkan bahwa pemerintah harus menyosialisasikan ini dan perlu memahami apa yang diinginkan masyarakat, terutama karena program tersebut akan dijalankan di atas tanah milik mereka.
Selain pendidikan dan kesehatan gratis, ia mengusulkan agar investasi tambahan yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat diberikan, misalnya, dua hingga tiga persen saham dari proyek tersebut.
Dengan cara ini, warga setempat dapat memperoleh penghasilan tetap setiap tahunnya. Jika sistemnya hanya mengandalkan penjualan tanah, maka kepemilikan akan hilang, yang sangat merugikan masyarakat.
Rudy Tirtayana berharap audiensi ini dapat memberikan dukungan penuh kepada masyarakat dan mendorong penyampaian aspirasi mereka. Audiensi ini diharapkan dapat menjadi langkah positif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa program pemerintah berjalan seiring dengan kepentingan dan hak masyarakat setempat.
(Rel/dpd)