
Oleh: Patria Subuh
(Pengamat Sosial)
“KARATAU madang di hulu
babuah babungo balun,
Marantau bujang dahulu
di rumah paguno balun”
Demikianlah kata pepatah kuno para orang tua Minang jaman dulu yang menyindir anak kemenakannya agar mencoba pengalaman merantau untuk membuktikan kemampuan, daya tahan dan daya juangnya dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian dan tantangan ini.
Fenomena merantau oleh Orang Minang diakui cukup menonjol dibandingkan suku lainnya di Pulau Sumatera. Sejak Abad ke-18, Orang Minang sudah merantau sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Di sana mereka bahkan menamakan perkampungannya dengan nama yang sama dengan kampung asal mereka di Minangkabau.
Orang Jawa juga mempunyai budaya merantau bahkan sampai ke Madagaskar di Amerika Selatan sana, namun tak seterkenal orang Minang kalau merantau. Dulu Profesi orang Minang ketika berada di perantauan tidak terlalu banyak. Tapi yang paling terkenal adalah membuka restoran padang atau jualan di kaki lima. sekarang umumnya lebih bervariasi mulai dari rektor universitas, jendral militer sampai tukang jaga sekolah pun ada.
Ditenggarai, orang Minang yang berada di rantau 2,5 kali lipat lebih banyak daripada orang Minang yang berdomisili di Sumatera Barat. Mereka umumnya sudah larut dengan budaya setempat. Ada yang tidak bisa lagi berbahasa Minang. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena sudah lupa bagaimana cara mengucapkannya. Anak-anaknya sudah tidak pernah diajarkan berbahasa Minang.
Orang Minang secara tradisional berada dalam suatu lingkup sistim kekeluargaan matrilineal yang cenderung berpandangan bahwa untuk menjadi manusia yang tahan banting, bisa beradaptasi, toleran, dan berdaya saing tinggi, mereka harus mencoba hidup merantau. Daerah perantauan menjadi ekosistem unik untuk menguji sifat tahan banting dan sifat tahan menderita seperti kata pepatah, “Dima bumi di pijak, Di sinan langik dijunjuang”.
Merantau, menuntut ilmu dan menetap di negeri orang untuk menjadi perantau “diaspora”, adalah kebanggaan dan ciri khas tersendiri bagi orang Minang sejak dulu jauh sebelum masa pra kemerdekaan. Seperti kata pantun kiasan di atas, orang Minangkabau belum dicap sebagai “minang” sejati kalau belum pernah punya pengalaman merantau keluar kampungnya selama periode waktu tertentu atau bahkan boleh jadi untuk selamanya – “marantau abih”.
Daerah tujuan rantau menurut definisi orang Minang dibedakan menjadi “rantau jauah” dan “rantau dakek”. Rantau jauah biasanya adalah merantau abih seperti ke pulau jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua atau bahkan luar negeri seperti Amerika, Eropa atau Timur Tengah. Sedangkan rantau dakek biasanya dilakukan masih di dalam provinsi atau provinsi tetangga saja.
Pola merantau ini menuntut orang Minang untuk memelihara sentimen kampung asal atau sub suku asal mereka. Mereka menjaga kesetiakawanan sosial dengan membentuk ikatan keluarga seperti ikatan keluarga Banu Hampu, Gonjong Limo, Solok Sepakat, Ikatan Keluarga Koto Tuo, dan lain-lain. Biasanya mereka mempunyai asrama sendiri dengan pengurusnya untuk menampung para perantau yang baru tiba.
Motif merantau dewasa ini barangkali sedikit berbeda dengan zaman dulu. Merantau bisa dilakukan karena sudah direncanakan sejak lama. Ada juga yang merantau karena faktor lain yang terjadi secara tiba-tiba tanpa direncanakan terlebih dahulu.
Merantau berdasarkan rencana umumnya dilakukan karena ingin menuntut ilmu, memperbaiki nasib atau ikut famili. Sedangkan merantau tanpa direncanakan disebabkan malu hidup di kampung karena miskin, perceraian, tugas dinas atau ingin mencari suasana baru yang lebih menantang.
Berdasarkan Data tahun 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) terlihat bahwa persentase perbandingan antara jumlah penduduk Sumatera Barat (5, 757 juta jiwa) dengan total jumlah penduduk Indonesia (278, 596 juta jiwa) adalah sebesar 2,03 persen. Selanjutnya persentase perbandingan di daerah lain secara rinci dapat dilihat pada grafik di bawah ini (diambil sampel hanya untuk 7 propinsi) :
Grafik : Presentase penduduk propinsi dibandingkan total jumlah penduduk Indonesia Tahun 2023
Ada jarak yang cukup ekstrim sekitar 15,75 % jika dibandingkan antara penduduk Jawa Barat (17, 78 %) dengan penduduk Sumatra Barat (2,03 %). Hal ini kemungkinan mengindikasikan bahwa tujuan utama daerah rantau orang Minang, walaupun beragam sebagian besar adalah menuju Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya. Sebagian lagi menuju daerah lain seperti kota-kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Jumlah penduduk Jawa Barat adalah yang terbanyak (49, 9 juta jiwa) dari seluruh penduduk Indonesia, tidak hanya berasal dari penduduk lokal, tetapi juga banyak menyerap pendatang yang salah satunya dari Minangkabau. Orang Sunda mungkin dianggap lebih bersahabat dan sejak lama diketahui banyak mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang minang.
“Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan.”
Pepatah ini barangkali patut menjadi salah satu pedoman dan bahan renungan bagi Orang Minang di kampung. Belajar untuk lebih memahami arti penting kehidupan bahwa dunia ternyata tidak selebar daun kelor. Bahwa kita tidak boleh menjalani kehidupan seperti katak dalam tempurung, tidak mau tahu dengan perkembangan dunia yang semakin maju. *)
(Catatan: Disusun dari berbagai sumber)
