
Oleh: Patria Subuh
“MENGETAHUI orang lain adalah kecerdasan, namun mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati. Menguasai orang lain adalah kekuatan, namun menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati“ / Lao Tzu (570 – 470 SM).
Demikianlah salah satu kearifan kuno (ancient wisdom) yang menggerakkan Bangsa Cina untuk membuat dirinya sejajar dengan bangsa lain dalam menguasai dan menaklukkan teknologi.
Hingga saat ini Bangsa Cina membuat bangsa lain tercengang-cengang karena percepatan yang dilakukannya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga boleh dikatakan hampir sejajar dengan negara-negara Barat.
Hanya sedikit bangsa di dunia yang mampu menjadi produsen ‘tools’ berteknologi tinggi yang diproduksi secara massal dan kemudian berhasil bersaing dengan negara maju dalam pemasaran globalnya.
Pencapaian prestasi bangsa timur ini tentulah tidak sembarangan, namun penuh dengan onak duri ujian, pengorbanan dan perjuangan.
Dalam buku “Art of War”, yang ditulis pada abad ke-6 SM oleh Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok kuno yang mengupas taktik dan strategi seni berperang, dinyatakan bahwa “Jika seseorang mengenal musuh dan mengenal diri sendiri, maka dia tak perlu takut walaupun harus bertempur sampai seratus kali”.
Hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya memahami dan mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh serta kekuatan dan kelemahan kita sendiri dalam merancang strategi untuk memenangkan pertempuran.
Dalam hal ini ‘pertempuran’ yang dimaksud adalah persaingan ekonomi dan dagang antar negara-negara di dunia.
Pemahaman ini memungkinkan kita untuk menghindari pertarungan yang tidak menguntungkan untuk mendapatkan peluang berharga dimana kita memiliki keunggulan strategis dibandingkan lawan.
Perang dagang antara China dan Amerika merupakan perumpamaan dari pertempuran antar 2 bangsa yang sama-sama berjulukan sebagai negara produsen terpandang di dunia.
Perang dagang ini dimulai pada Tahun 2018, ketika Donald Trump (masa jabatan : 2017 – 2021), Presiden Amerika Serikat – memutuskan untuk memberlakukan tarif impor pada produk-produk China yang dianggap merugikan. Amerika merasa kelabakan dengan serbuan beragam produk China dengan harga bersaing, berkualitas dan terjangkau hampir di semua lini produksi sehingga pemerintahnya merasa perlu memproteksi negaranya dengan memberlakukan tarif impor yang lebih seimbang dan masuk akal.
Strategi dagang China yang agresif membuat Amerika terpaksa harus mengedit ulang seluruh kebijakan ekonominya karena dampaknya sudah berada pada tahap defisit neraca transaksi yang tak seimbang antar kedua negara.
Amerika merasa dirugikan dengan kebijakan ‘dumping’ harga produk impor dari China yang mendesak eksistensi produk lokal ke tingkat yang semakin mengkhawatirkan.
Konsumen Amerika yang sebagian besar generasi muda yang lebih pragmatis merasa diuntungkan dengan ketersediaan produk China yang berkualitas dan lebih kompetitif dari sisi teknologi.
Tentu saja ini merupakan nilai tambah (intangible value) yang menguntungkan bagi barang produk China.
Beralihnya selera generasi muda Amerika dari barang mewah dan mahal ke barang yang lebih aplikatif dan ekonomis, ikut mendukung keberhasilan China mempenetrasi pasar negara itu.
Satu hal yang patut digarisbawahi dari kasus di atas adalah pertanyaan tentang – bagaimana bisa sebuah bangsa yang dulunya berada dalam suatu sistem ‘komunisme proletarian’- tiba-tiba bertransformasi menjadi seperti bangsa ‘kapitalis imperialis’ yang agresif memproduksi barang secara massal dan sukses memasarkannya ke seluruh dunia.
Bangsa yang beberapa dekade lalu masih berupa negara agraris tiba-tiba menjadi momok yang menakutkan bagi pengusaha / produsen barang di negara Barat.
‘Lompatan Jauh ke Depan’ yang dicetuskan Mao Ze Dong dan dilontarkan pada sekitar Tahun 1975, yang menjadi salah satu slogan bangsa Cina untuk maju – ternyata akhirnya menjadi kenyataan.
Masyarakat awam yang berpandangan pragmatis menilai bahwa perang dagang antara Amerika dan China pada suatu saat dalam tingkatan tertentu akan mencapai titik nadir keseimbangan pasar yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Termasuk negara pihak ketiga yang dalam hal ini menjadi penonton dari tragedi ekonomi yang masih berlangsung saat ini.
Namun satu hal yang patut dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia adalah bahwa kesuksesan dan daya saing suatu bangsa sangat ditentukan oleh ‘integritas’ dan ‘konsistensi’ pemimpinnya dalam menuntun anak bangsa untuk bergerak maju mengelola negara sebagaimana yang terjadi di negeri China.
Jadi, tidak salah kalau ada hadits Nabi Muhammad yang menyatakan, “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China”. (Eri#43)
Penulis adalah Pengamat Sosial