
PADANG, AmanMakmur — Hamas (Himpunan Media Sumbar) rencananya akan menggelar Peringatan 20 Tahun Wafatnya Hamid Jabbar, seorang penyair Indonesia asal Ranah Minang, pada tanggal 29 Mei 2024 yang akan datang, dengan tajuk “Setitik Nur”. Setitik Nur merupakan salah satu judul puisi dari Hamid Jabbar.
“Tanggal 29 Mei bertepatan dengan hari wafatnya penyair Hamid Jabbar, saat membaca puisi di acara yang diadakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat Jakarta, di tahun 2004. Atau 20 tahun yang lalu,” ujar Isa Kurniawan, pelaksana acara dari Hamas, Sabtu (9/3/2024).
Makanya, lanjut Isa, Hamas memandang perlu mengadakan peringatan 20 tahun wafatnya penyair Hamid Jabbar tersebut. Dan acara akan diisi dengan; Orasi Budaya, Testimoni mengenai sosok Hamid Jabbar, pemberian Life Achievement Award, pembacaan puisi karya Hamid Jabbar, serta doa untuk almarhum.
“Kami dari pelaksana acara sudah minta izin ke Buya H Mas’oed Abidin (HMA), yang merupakan kakak dari almarhum Hamid Jabbar, selaku pihak keluarga, untuk melaksanakan acara ini. Dan, Alhamdulillah, beliau mendukung. Kemudian, kita juga akan kolaborasikan dengan UIN Imam Bonjol,” ujar Isa, yang merupakan Owner forumsumbar.com.
Menurut Isa, acara ini diangkatkan Hamas untuk menghargai para seniman dari Ranah Minang, yang mana dengan karya-karyanya yang fenomenal telah mengharumkan nama Sumbar, baik di tingkat nasional, regional dan internasional.
Dan kemudian, kata Isa lagi, acara seperti ini bisa terus menggelorakan semangat berkesenian, atau berkebudayaan, khususnya pada kaum muda Minang, sehingganya diharapkan akan lahir Hamid Jabbar-Hamid Jabbar baru yang lebih lagi karya dan kiprahnya.
“Ini sekaligus sebagai motivasi bagi kaum muda Minang, bahwasanya banyak seniman-seniman dengan karya dan punya nama besar yang lahir dari Ranah Minang,” terang Isa.
Sebagaimana diketahui, pada akhir Februari lalu, Hamas sukses mengangkatkan acara Peringatan 88 Tahun Rusli Marzuki Saria, yang juga merupakan penyair Indonesia dari Ranah Minang.

Sekilas Hamid Jabbar
Hamid Jabbar adalah seorang wartawan, sastrawan dan penyair Indonesia yang berasal dari Ranah Minang, dan merupakan salah seorang tokoh sastrawan Angkatan 70-an yang dikenal sebagai penyair yang peka terhadap nilai-nilai religius yang bernafaskan Islam.
Nama lengkapnya ialah Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Namun belakangan ia menggunakan nama pena yang lebih singkat dengan menggabungkan sepotong namanya dan nama kakeknya menjadi Hamid Jabbar.
Hamid Jabbar merupakan adik dari ulama kharismatik Ranah Minang dan penulis Indonesia, Buya H Mas’oed Abidin bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar.
Hamid Jabbar lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, dan meninggal dunia pada hari Sabtu tanggal 29 Mei 2004 ketika membaca puisi dalam suatu acara di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Hamid Jabbar adalah penyair spontan. Ia bisa menulis puisi dengan cepat karena dirinya adalah puisi itu sendiri. Ia tidak memperlakukan kata-kata sebagai pesuruh untuk mengantarkan pengertian. Ia justru menjalin hubungan yang intim dengan kata. Jiwanya dan kata-kata menyatu. Sehingga apa yang dilihatnya oleh mata sudah menjadi puisi, tinggal melukiskannya dengan kata-kata. Penjiwaannya yang total membuat puisi-puisi Hamid menjadi semacam kearifan (wisdom).
Sebenarnya bakat seni yang dimiliki Hamid Jabbar turun dari keluarganya. Keluarga mereka pencinta pantun. Ibunya selalu mendendangkan pantun ketika meninabobokkannya. Selain itu, Hamid Jabbar dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat.
Berkaitan dengan kegiatan baca puisi, Hamid Jabbar mendapat predikat sebagai “Penyair Zikir”. Hal itu bertalian dengan puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang kebesaran Tuhan.
Dia mulai menulis tahun 1966 melalui bimbingan guru tidak resminya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Abrar Yusra, Chairul Harun, atau Bagindo Fahmi.
Hamid Jabbar dikenal sebagai penyair yang lugas dalam menyampaikan kritik sosial melalui puisi-puisinya. Beberapa puisi kritiknya yang terkenal antara lain; Selamat Tinggal Manusia Budak Indonesia, Proklamasi 2, Indonesiaku, dan lain-lain.
Adapun karya Hamid Jabbar yang berupa kumpulan puisi, antara lain; (1) Dua Warna ( 1974), (2) Paco-Paco (1974), (3) Wajah Kita (1981), dan (4) Rencong Gajah (1984). Yang berupa puisi lepas antara lain (1) “Doa Mabuk Para Tiran” yang dimuat dalam Mingguan Pelita, 13 Januari 1991, (2) “Gairah Kdiamat I” dan “Gairah Kdiamat II” dalam Sinar Harapan, 30 Juli 1983, (3) “Setitik Nur” dalam Berita Buana, 25 November 1980, (4) “Tetapi” dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (5) “Debu” dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (6) “Nyanyian Belum”, “Nyanyian Dalam”, “Nyanyian Jauh”, dan “Nyanyian Purba” dalam Berita Buana , 10 Agustus 1982, (7) “Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku” dan “Ternyata” dalam Panji Masyarakat, 11 Juni 1979, (8) “Potong Bebek Angsa” dalam Pelita 12 Juni 1979, (9) “Di Taman Bunga, Luka Tercinta”, “Gedung Merdeka, Sukabumi”, dan “Telah dan Kecuali” dalam Sinar Harapan, 6 November 1982, (10) serta “Komputer Teler” dalam Pelita 18 Maret 1987.
Tahun 1999 Hamid Jabbar mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa melalui kumpulan puisinya yang berjudul Super Hilang Segerobak Sajak (1998).
Selain menulis puisi, Hamid Jabbar juga menulis cerpen. Sebagai penulis cerpen ia sangat ekstrem karena lari dari sistem konvensional. Gaya bahasa Hamid Jabbar bersifat simbolik.
Cerpen-cerpen Hamid Jabbar antara lain; (1) “Tak Harmoni” dalam Ulumul Qur’an, 1989, (2) “Tas” dalam Zaman, 6 April 1985, (3) “Pemberontak” dalam Amanah, 23 Agustus 1990, (4) “Membangun Kdiamat” dalam Amanah, 7–20 November 1986, (5) “Cerpen Kita, Merdeka dan Teler” dalam Pelita, 6 Agustus 1986, (6) “Sampah” dalam Singgalang, 15 Januari 1984, (7) “Tak Ada Tempat” dalam Kartini, 4–17 Januari 1982, (8) “Pamplet” dalam Dialog, 12–25 Juni 1921, (9) “Engku Datuk Yth. di Jakarta” dalam Kompas, 2 November 1980. (10) “Komkapanin” dalam Indonesia Raya, 10 November 1969.
Bersama Wisran Hadi, Hamid Jabbar sempat mendirikan Grup Bumi Teater di Padang. Kemudian di samping aktif melakukan studi tentang sastra dan budaya Minangkabau, ia juga mengikuti berbagai seminar sastra dan budaya, serta membacakan puisi-puisi di berbagai kota di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura.
(Putrie)