PADANG, AmanMakmur —Para alumni SMA Negeri 2 Padang lulusan tahun 1988 pasti mengenal kedua sosok ini, Riri Satria dan Retna Ariastuti. Keduanya adalah pelajar jurusan Fisika yang berprestasi dan sering menjadi juara kelas.
Selepas SMA, Retna Ariastuti yang biasa dipanggil Tuti, melanjutkan studi ke Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), sementara itu Riri Satria yang akrab dipanggil Riri, melanjutkan ke Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) di Depok.
Saat ini, Tuti berkarir di sebuah perusahaan teknologi di Oregon, Amerika Serikat (AS) dan berdomisili di sana, tepatnya di kota Corvallis. Sebelumnya Tuti menamatkan S3 atau Ph.D di bidang Industrial Engineering di Oregon State University (OSU).
Sementara itu Riri berkarir sebagai konsultan atau advisor di bidang manajemen strategis dan transformasi digital, dosen dan peneliti, serta menjabat sebagai Komisaris di sebuah BUMN, dan saat ini berdomisili di Cibubur, Kabupaten Bogor.
Namun siapa yang menyangka ternyata keduanya memiliki dunia yang lain di luar teknologi, yaitu sastra. Riri menulis puisi dan esai, sementara itu Tuti menulis cerpen, esai, dan kabarnya sedang merampungkan novel pertamanya.
Menarik mengikuti kiprah kedua sosok ini dalam dunia sastra, dari fisika ke sastra.
Tuti pernah ikut mengelola Dalang Publishing LLC, sebuah penerbit beralamat di San Mateo, California, AS, yang berusaha membantu dan menjembatani para penulis Indonesia untuk menerbitkan karyanya di AS.
Sementara itu Riri saat ini adalah Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia dan Pemimpin Umum Jurnal Sastra Daring, Sastramedia.
Pada tanggal 23 November 2018, Riri dan Tuti tampil bersama dalam temu wicara yang bertajuk “Bagaimana Karya Penulis Indonesia dapat Menembus Pasar Amerika”, di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Tuti bertindak sebagai narasumber sedangkan Riri sebagai pemandu diskusi.
Mengutip tulisan Tuti di halaman Facebook miliknya, “As I’m finishing my manuscript ‘Home Away’ and initiating and preparing the next step for the possibility of publication, I’ve not been able to ignore the nagging thought that I’m writing in English, my second language. Part of me feels guilty that it is as if I’m abandoning my native Indonesian, but the other part feels it necessary as I’ve claimed the US as my home and been living here for decades.”
Di sini tertulis bahwa Tuti sedang menyelesaikan novel pertamanya berudul ‘Home Away’ dan ditulis dalam Bahasa Inggris. Sementara itu salah satu cerpen Tuti yang dimuat di SastraMedia —berjudul: Selendang Bersulam Putih — berkisah tentang tokoh Mandeh Siti Manggopoh, seorang pahlawan perempuan dari Ranah Minang.
Uniknya cerpen ini menggunakan beberapa kosakata khas Minang.
Lalu sebuah esai berjudul ‘Mambaca Proust, Sebuah Pengantar’, baru saja dimuat di Sastramedia dan merupakan esai sastra pertama yang ditulis Tuti dari sekian banyak yang akan disiapkan ke depannya.
“Ya, ini sangat mengagetkan. Saya tak pernah tahu ternyata Tuti memiliki minat yang tinggi terhadap sastra, terutama menulis cerpen dan novel, seperti halnya ketertarikan saya terhadap puisi”, ujar Riri menjelaskan kepada amanmakmur.com, sewaktu berada di Padang, 29 Februari 2024 lalu
Jika Tuti menekuni cerpen, novel, dan esai, maka Riri menemuni puisi dan esai. Puisinya sudah diterbitkan dalam empat buku kumpulan puisi tunggal di samping lebih dari 50 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya.
Buku “Metaverse” adalah buku kumpulan puisinya yang keempat. Selain menulis puisi, Riri juga menulis esai yang dibukukan ke dalam buku trilogi ‘Proposisi Teman Ngopi’ (2021) serta buku kumpulan esai berjudul ‘Jelajah’ yang merupakan kumpulan tulisan untuk prolog dan epilog untuk berbagai buku puisi dan novel para sahabatnya, serta dialog-dialog puitis terkait dengan puisi (sastra pada umumnya) terkait kebudayaan dan kemanusiaan.
“Mungkin teman-teman dulu mengenal kami sebagai pelajar yang suka kepada matematika, fisika, serta kimia, karena jurusan yang dimasuki isi semua pelajaran itu. Barangkali kami hanya ingin menyampaikan bahwa sastra itu milik semua pihak. Sastra itu inklusif, bukan ekslusif, asalkan dipelajari”, demikian Riri melanjutkan.
Itulah kiprah Riri Satria dan Retna Ariastuti, dari fisika merambah dunia sastra, dan kemampuan menulis sastra mereka ditumbuhkan sebagian besar secara otodidak.
(ika)