Oleh: Djohermansyah Djohan
(Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014)
POLITIK dinasti itu tidak haram, asal dijalankan dengan baik sesuai pakemnya. Di Indonesia berkembang politik dinasti yang tidak sehat, yaitu anak/kemenakan/menantu/isteri/adik/ipar/dll mendapatkan kuasa karena hubungan darah dan perkawinan semata, mengabaikan kompetensi dan prestasi. Penuh kolusi. Menyingkirkan prinsip meritokrasi.
Sehingga mencederai demokrasi, mendekatkan kita pada bentuk negara monarkhi, dan menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan good governance guna mencapai Indonesia Emas 2045.
Kalau dulu politik dinasti diterapkan di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi, kini ia dimainkan di tingkat negara.
Mula-mula polanya, anak gubernur atau anak bupati yang masih muda belia, baru tamat sekolah, direkayasa seleksinya (gubernur/bupatinya ketua partai di daerahnya), sehingga sang anak dengan mudah dapat tiket menjadi calon bupati.
Dengan uang dan pengaruh yang dimiliki si bapak, penguasaan terhadap birokrasi, didukung tim sukses, dan uang tak berseri diaturlah agar anak tersayang memenangi pemilihan.
Tak jauh berbeda dengan isteri tercinta walikota yang tak berpengalaman sama sekali dalam pemerintahan, hanya memimpin PKK tiba-tiba dengan strategi yang sama terpilih menjadi walikota menggantikan sang suami yang sudah dua periode berkuasa.
Pola politik dinasti itu kemudian meruyak kemana-mana dan makin canggih permainannya. Anak/kemenakan/steri/mantu/adik/ipar lewat kuasa uang dan pengaruh dijadikan dulu pengurus ormas, dan anggota DPRD/DPR, baru sesudah itu diorbitkan sebagai kepala daerah.
Jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terindikasi politik dinasti bertambah dari 60 tahun 2014 menjadi 127 tahun 2021 atau dalam tempo tujuh tahun naik 100 % lebih.
Hasil dari politik dinasti yang vulgar itu banyak mudaratnya, seperti berantakannya tata kelola pemerintahan daerah. Anak dan isteri tersebut lebih sebagai “boneka” bapaknya. Sesungguhnya pemerintahan dijalankan oleh sang bapak. Kepala dinasnya tak diganti-ganti, dan kontraktor proyeknya orang yang itu-itu saja. Programnya pun tak banyak berubah.
Lebih parah lagi, maraknya perilaku koruptif, jual beli jabatan, penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa, serta pemberian perizinan. Pelaku politik dinasti itu, bapak-anak-isteri bareng-bareng masuk bui.
Belakangan, politik dinasti merambah ke tingkat negara. Setelah sebelumnya anak Presiden Joko Widodo, Gibran terpilih dengan mudah didukung penuh PDIP menjadi Walikota Surakarta, dan menantunya Bobby tembus sebagai Walikota Medan, kini pada Pemilu 2024 ini kursi RI 2 menjadi incaran.
Gibran yang baru dua tahun menjabat walikota dan berusia 36 tahun, belum berpengalaman di tingkat pemerintahan provinsi apa lagi nasional, diroketkan sebagai calon Wakil Presiden.
Hambatan syarat usia cawapres minimal 40 tahun yang diatur di dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 disingkirkan melalui teknik Judicial Review ke MK (Mahkamah Konstitusi) yang kebetulan dipimpin oleh Anwar Usman ipar Presiden Joko Widodo alias pamannya Gibran.
Gibran sesuai putusan MK No 90 yang kontroversial itu dinyatakan memenuhi syarat sebagai cawapres walau tak berumur 40 tahun, karena ia berstatus walikota (elected official).
Tinggal selangkah lagi Gibran dan pasangannya Prabowo meraih kursi yang ditinggalkan bapaknya. Mereka telah mendaftar kemaren ke KPU.
Sebagai presiden dua periode Joko Widodo punya kuasa dalam pemerintahan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, seperti tampak dari banyaknya organisasi relawan Joko Widodo yang seolah-olah mengimbangi kekuatan partai politik.
Agar kontestasi pilpres 14 Februari 2024 berlangsung dengan setara dan untuk menjamin pemilu yang berkualitas dan berintegritas, baiknya Presiden Joko Widodo mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye pilpres (75 hari).
Hal ini selaras pula dengan pengaturan dalam pasal 281 ayat (1) UU Pemilu No 7 Tahun 2017, dimana bila suatu kampanye mengikutsertakan Presiden, maka beliau harus cuti di luar tanggungan negara. Memang presiden, taroklah tak ikut kampanye untuk Gibran, tetapi hati dan doanya, pikiran dan tindakannya tak akan lepas dari keberhasilan Gibran.
Mengapa? Karena di dunia fana ini tak ada seorang bapak pun yang tak akan menolong anaknya, kecuali pada hari kiamat. Sekali lagi kecuali hari kiamat.
Apa lagi anaknya akan menduduki tahta utama di tingkat negara yang akan ditinggalkannya.
Selama presiden cuti, pemerintahan akan dijalankan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dengan status sebagai Plt atau Pelaksana Tugas Presiden RI (caretaker). Ketika kampanye selesai, presiden kembali menduduki kursinya.
Bagaimana mengaturnya? Sederhana saja, agar pemerintah menerbitkan Perppu yang merevisi pasal 281 ayat (1) UU Pemilu No 7 Tahun 2017 dengan menambahkan kampanye pilpres yang diikuti oleh kerabat presiden berdasarkan hubungan darah (anak), dan hubungan perkawinan (isteri, menantu), presiden harus cuti di luar tanggungan negara.
Melalui pengaturan seperti itu, insya Allah kita akan dapat menghambat politik dinasti dalam pelaksanaan Pilpres 2024. *)