Oleh: Isa Kurniawan
BAGI orang Minang, cimeeh merupakan bumbu kehidupan. Cimeeh itu buat hidup menjadi enjoy, memancing senyum serta mengundang gelak dan tawa. Lihat saja suasana di kedai-kedai tempat berkumpulnya para lelaki Minang. Selalu penuh dengan cimeeh.
Cimeeh itu terbagi dua, satu yang irisnya tipis, dinamakan dengan “sayik dendeng”. Dan kedua “sayik randang”, tebal sayatnya.
Yang pertama itu cimeeh-nya sangat tajam, setajam silet. Toleransinya minimal sekali, dan keluarnya secara bergelombang. Jika tidak kuat-kuat, bisa tersandar dibuatnya. Kalau yang kedua, cimeeh yang bisa melegakan. Toleransinya masih tinggi.
Dalam dunia percimeehan yang terpenting adalah jangan sampai baper, bawa-bawa perasaan. Kalau baper, tidak usah saja masuk gelanggang, di rumah saja duduk-duduk manis. Yang namanya gelanggang itu memang penuh dengan cimeeh. Jadi bagi yang turun ke gelanggang sudah harus siap dengan cimeeh.
Meski dunia cimeeh tidak ada aturan tertulis yang membatasinya, tapi bagi yang sudah masuk gelanggang tahu batas-batasnya. Ada kode etik yang tidak tertulis yang biasanya sudah dipahami, seperti tidak menyangkut fisik, mencimeeh orang yang sedang kematian bini, dan lainnya.
Bagi dunia kewartawanan, cimeeh itu adalah dasar. Nama-nama besar seperti A.A. Navis dan Chairul Harun –keduanya budayawan/wartawan hebat dimasanya–berangkat dari cimeeh tadi. Adakalanya karena cimeeh, terjadi “perang pena”. Tulisan dibalas tulisan dan cimeeh dibalas cimeeh. Asyik.
Saat ini ada yang menyamakan cimeeh dengan bully (bahasa gaul sekarang). Tapi menurut saya beda. Bully itu tidak mengenal batas-batas, vulgar, polos, telanjang, tubles. Sementara cimeeh lebih bermartabat.
Oleh bully, orang yang sedang terkena bencana/musibah dihajar habisan-habisan tidak masalah, tapi bagi cimeeh masih ada rasa dan perasa-nya, atau raso jo pareso.
Di dunia wale sekarang, terjadi pergeseran cimeeh tadi. Yang semula dominan di kedai-kedai dengan dialektika secara verbal, langsung, face to face, sekarang banyak berpindah ke media sosial, yang bersifat maya.
Di sinilah perlu kehati-hatian karena bisa menjadi jejak digital. Sementara bagi yang di kedai, sehabis cimeeh men-cimeeh, selesai di kedai itu saja.
Kadang di tengah kejengahan hidup yang semakin sesak, cimeeh adalah obat untuk kita bisa tertawa –baik menertawakan diri sendiri maupun orang lain– dan melupakan masalah hidup sejenak. Maka dari itu bercimeeh lah, karena cimeeh adalah kita. *)
Penulis adalah Koordinator Kapas (Komunitas Pemerhati Sumbar)