PAPUA BARAT, AmanMakmur –— Pertanyaan tentang kontribusi TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) atau CSR (Corporate Social Responsibility) Perusahaan Minyak dan Gas (Migas) terhadap masyarakat adat mulai mengemuka kembali setelah persoalan CSR BP Tangguh dipertanyakan.
Pertanyaan yang sama juga tertuju pada dampak penggunaan dana Otsus bagi masyarakat adat Papua.
Terkait hal ini, Senator Papua Barat Dr Filep Wamafma menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat Papua atas CSR/TJSL maupun dana Otsus dilindungi oleh hukum. Menurutnya, dasar hukum tentang hal itu juga secara jelas merinci tentang hak-hak masyarakat adat yang semestinya dipenuhi.
Berkaitan dengan CSR/TJSL, Filep menerangkan dasar hukumnya pada Pasal 1 angka 3 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), dimana CSR diistilahkan dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
“Amanat dari UU PT itu mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL/CSR.
CSR ini merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Jadi, CSR itu merupakan tanggung jawab penuh perusahaan, yang dianggarkan dan dihitung sebagai biaya perseroan, lebih jelasnya di Pasal 74 UU PT,” ujar Filep, Rabu (9/8/2023).
Dalam UU PT disebutkan bahwa TJSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Kemudian, lanjut Filep, di Pasal 74 itu tepatnya di ayat (3) juga disebutkan bahwa Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Lalu, seturut perintah UU PT ini, PP Nomor 47 Tahun 2012 kemudian mengatur secara khusus tentang TJSL Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 5, disebutkan bahwa anggaran CSR dihitung sebagai biaya perseroan, dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran,” jelasnya.
Lebih khusus, berkaitan dengan Perusahaan Migas seperti BP Tangguh, senator Filep merujuk pada UU Migas yakni Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan bahwa kontrak kerja kegiatan hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi, diantaranya harus memuat ketentuan pokok mengenai pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.
Menurutnya, ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 40 ayat (5) yang menyebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
“Ini yang perlu kita cermati ya, dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan “ikut bertanggung jawab mengembangkan lingkungan masyarakat setempat” dalam ketentuan ini adalah keikutsertaan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan masyarakat setempat, antara lain dengan cara mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas tertentu, serta meningkatkan lingkungan hunian masyarakat, agar tercipta keharmonisan antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dengan masyarakat sekitarnya,” jelasnya.
“Dengan begitu, semua Perusahaan Migas yang beroperasi, wajib mengikuti ketentuan sesuai dengan UU Migas ini. Kewajiban inilah yang secara implementatif harus diperiksa di lapangan, yaitu apakah BP Tangguh sudah menyediakan itu semua? Jangan sampai berbagai klaim yang dilakukan selama ini hanya sepihak saja. Apalagi, CSR pun dijadikan cost recovery yang dalam arti tertentu melepaskan tanggung jawab perusahaan sebagaimana diperintahkan oleh UU PT tadi,” kata Filep lagi.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini pun menegaskan bahwa dalam teori perundang-undangan, seharusnya UU PT dan UU Migas yang harus dimenangkan jika dihadapkan pada semua PP yang ada. Hal itu berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior yakni hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Namun, PP justru tetap berlaku.
Terkait Otsus, Pace Jas Merah ini menyampaikan bahwa lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus, tepatnya dalam Pasal 34 disebutkan bahwa penerimaan provinsi/kabupaten berasal dari dana perimbangan, diantaranya dari DBH Minyak Bumi sebesar 70% dan DBH Gas Alam sebesar 70%.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 36 ayat (2) pun ditegaskan peruntukan dari DBH Migas tersebut yaitu 35% untuk belanja pendidikan, 25% untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi, 30% untuk belanja infrastruktur, dan 10% untuk bantuan pemberdayaan masyarakat adat.
“Mengikuti logika UU ini, maka masyarakat adat juga mendapatkan dana CSR yang celakanya diambil dari cost recovery. Jadi masyarakat adat tentu saja dirugikan karena DBH yang merupakan kewajiban, justru ditumpangi sebagai bagian CSR juga,” katanya.
“Seharusnya perintah UU PT dan UU Migas sudah sangat jelas terkait CSR, dimana dana CSR merupakan kewajiban Perseroan dan semua Perusahaan Migas yang beroperasi, wajib untuk “ikut bertanggung jawab mengembangkan lingkungan masyarakat setempat” yaitu mengembangkan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan masyarakat setempat, antara lain dengan cara mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas tertentu, serta meningkatkan lingkungan hunian masyarakat,” tutupnya.
(Rel/dpd)