
Oleh: Adrian Tuswandi
ADA tiga fase yang harus menjadi fokus untuk mengurai sengkarut permasalahan Hotel Novotel Bukittinggi Sumatera Barat. Dan publik harus tahu, supaya jangan gagal fokus (Galfok)
Hotel Novotel itu membangunnya dengan sistem built operate transfer (BOT) yang telah habis pada 2021 lalu.
Di masa ini memang tidak ada yang mesti diperdebatkan, baik soal kontribusi maupun apa saja di masa BOT itu, meski untuk ini ada.
Terus fase kedua perpanjangan BOT 2022-2024 Novotel, di masa ini manajemen wajib setor dengan ketentuan rugi setor Rp200 juta ke kas Pemprov Sumbar. BOT 30 tahun, HGU 2021 selesai seluruh bangunan diserahkan ke Pemprov Sumbar.
Dan aturan baru, PP 28/2020, 10 persen nomimal dari bangunan itu harus dijadikan operasional untuk pelayanan publik
2021 habis perjanjian BOT, Gubernur Sumbar waktu itu memperpanjang sampai 2024. Perjanjian BOT diperpanjang, sesuai aturan 1 tahun sebelum berakhir Pemprov Sumbar harus membentuk tim appresial, menentukan nilai asset dan bangunan.
Penawaran dilakukan terbuka jika akan melanjutkan pengelolaan Novotel, apakah ini sudah dilakukan oleh Pemprov Sumbar?
DPRD pacik mik jelang BOT dan perpanjangan Novotel berakhir karena fungsi pengawasannya, selain itu infonya belum ada tim yang dibentuk sehingga itu DPRD bersikap.
Selain itu keteledoran dari aturan waktu 2021 habis, harusnya diperpanjangan, HGU diserahkan, sehingga tidak ada dan mungkin ada di bank.
Untuk Novotel ini harusnya semua pihak, mulai pemilik aset Pemprov Sumbar, investor yang mau ikut penawaran dan publik Sumbar harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan aturan kekinian yang berlaku.
Pertanyaannya, sejak 2021 sampai 2022 Hotel Novotel itu merugi, atas hal itu pengelola Novotel hanya setor ke Pemprov Sumbar sebesar Rp200 juta.
Fase perpanjangan selesai, ini menjadi krusial karena Novotel pada 2024 jadi milik murni Pemprov Sumbar. Bagaimana pengelolaannya, siapa operatornya, apakah masih yang lama diteruskan atau bagaimana?
Publik Sumbar hanya mau tahu pasca-perpanjangan Novotel dan dikelola oleh operator baru atau operator lama dilanjutkan terserah, yang harus diungkap ke publik berapa setoran Novotel itu ke PAD Pemprov Sumbar dan bagaimana pola penentuan kontiribusi Novotel itu ke kas Pemprov Sumbar setiap tahunnya.
PR besarnya adalah Pemprov Sumbar harus membuka terang benderang pola penawaran jika mau Novotel dikelola pihak ketiga lagi. Pemprov harus membuat tim dan mekanisme kerjasamanya harus berdasarkan regulasi tentang pemerintah daerah kerjasama aset ke pihak ketiga.
Novotel itu keberadaannya di kawasan super destinasi Sumbar yaitu Kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, satu klaster dengan areal Istana Negara Bung Hatta.
Dan kabar terbaru banyak vendor mengintai pengelolaan Novotel setelah habis masa perpanjangan tersebut. Tidak saja vendor lokal, tapi vendor multi internasional pun siap bersaing di penawaran, sebagai pengelola Novotel tersebut.
Tentu untuk isu seksi ini asas keterbukaan informasi harus menjadi dasar bagi Pemprov Sumbar dalam menentukan operator atau pengelola pihak ketiga di Novotel itu. *)
Penulis saat ini adalah Komisioner Komisi Informasi (KI) Sumbar dua periode —yang konsen terkait keterbukaan asset pemerintah yang peruntukkannya tidak tepat












