HARI ini (18/11/2022) dan dua hari ke depan dihelat Muktamar Muhammadiyah ke-48. Pelaksanaannya dipusatkan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sebagai universitas Islam terbaik di Asia.
Satu hari jelang Muktamar, dilaksanakan pula Tanwir, yaitu forum musyawarah tertinggi di bawah Muktamar yang nantinya akan menetapkan calon anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dari cikal bakal calon menjadi 39 orang.
Setelah itu akan disusul dengan pergantian kepemimpinan dan pimpinan di tingkat wilayah, daerah, cabang hingga ranting. Salah satu agenda permusyawaratan berkaitan dengan evaluasi program kerja produk musyawarah sebelumnya selama tujuh tahun lalu. Kemudian menetapkan program lima tahun ke depan.
Bagian terpenting dari produk Muktamar ke-47 di Makassar, menjadikan ekonomi sebagai pilar utama yang mesti digerakkan Muhammadiyah mulai dari tingkat pusat hingga ranting. Sebab, pilar ini belum begitu menjadi perhatian utama yang menyebabkan Muhammadiyah sedikit agak keteteran.
Hal itu berdampak terhadap pelaksanaan program yang sudah dirancang tidak berjalan sesuai dengan harapan. Lebih daripada itu simpul-simpul ekonomi di negara ini dikuasai pihak lain, dan umat Islam terasa sangat lemah dalam aspek ini.
Hanya saja, pergerakan pilar ini kelihatannya belum menggeliat sebagaimana pilar pendidikan dan kesehatan hingga sekarang. Potensi amal usaha yang jumlahnya tersebar dan dalam jumlah yang sangat signifikan belum dikapitalkan dalam bentuk potensi yang besar sebagai basis kekuatan ekonomi persyarikatan dan umat. Padahal potensi ini nyaris tidak dimiliki oleh organisasi yang sejenis dengan Muhammadiyah. Bahkan dalam bidang-bidang tertentu Muhammadiyah setara bahkan melebihi daripada yang dimiliki pemerintah sendiri.
Begitu pula unit bisnis dan lembaga keuangan yang sudah ada di beberapa tempat belum tersinergikan dengan amal usaha lainnya, sehingga belum menjadi sentral bisnis dan keuangan Muhammadiyah.
Pengelolaannya nyaris berjalan sendiri-sendiri tanpa terkoneksian antar amal usaha. Bahkan satu sama lain masih mempertahankan ego sektoral. Akibatnya, sulit untuk berkembang dan dikembangkan. Bahkan di beberapa tempat terkesan mempertahankan kondisinya dalam keadaan status quo seperti itu.
Selain itu, pimpinan persyarikatan yang menaunginya juga tidak memiliki daya dorong yang kuat dan kemampuan dalam membenahinya dengan berbagai macam faktor.
Ke depan, keadaan demikian sudah harus diakhiri. Sejalan dengan semangat kepemimpinan yang baru di semua tingkat dari pusat hingga ranting. Semua amal usaha Muhammadiyah harus bersinergi satu sama lain di bawah kepemimpinan dan pimpinan yang lebih kolektif dan solid.
Pengelolaan dan pergerakan persyarikatan dengan amal usahanya sudah harus menghindari “dima tumbuh di situ disiang”, dan diganti menjadi pengelolaan yang terencana, terawasi dan terevaluasi.
Begitu pula pengelola amal usaha tidak cukup hanya menjalankan tugas rutinitas melainkan harus berinovasi dan kreatif. Keterbatasan sumber daya mesti dijadikan peluang untuk mengembangkan amal usaha.
Selain itu, mesti pula memiliki keberanian yang lebih untuk mengkapitalisasi menjadi amal usaha yang produktif. Selain memanfaatkan jejaring filantropi harus dilakukan pula penambahan permodalan dengan cara berbagi usaha dengan pihak ketiga. Sebab, dengan kondisi dan mengandalkan potensi internal mustahil akan dapat dikembangkan lebih cepat. Kalaupun bisa, tapi pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan waktu yang relatif lama.
Sebagai langkah awal untuk mencontoh dalam bentuk yang lebih konkret sudah diawali dari keberanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UM Sumbar) berhutang sebanyak Rp21 miliar pada konsorsium perguruan tinggi Muhammadiyah untuk membangun kampus yang sudah berdiri megah di tengah kota Bukittinggi, dimana saat ini penulis menjadi Sekretaris BPH (Badan Pembina Harian)
Hal ini, kita dorong pula amal usaha lainnya dan sudah ditindaklanjuti oleh Ponpes Kauman Padang Panjang, ponpes Al-Kautsar Payakumbuh, Ponpes Muallimin Sawah Dangka dan SD-SMP Muhammadiyah Payakumbuh.
Terakhir, BTM Sumatera Barat di mana penulis sebagai sekretaris pengurus mendapatkan kepercayaan mengelola dana LPDB sejumlah Rp3,4 miliar untuk usaha kecil dan menengah.
Cara pengelolaan ini tentunya harus diiringi dengan tata kelola yang baik. Dimana dalam pelaksanaannya, tidak cukup hanya inovasi dan keberanian pengelola melainkan harus didukung secara full oleh kepemimpinan dan pemimpin persyarikatan yang kolektif, solid dan kuat.
Kesolidan, kekuatan dan kolektivitas kepemimpinan demikian sangat diperlukan karena kebijakannya sangat dibutuhkan, baik dalam bentuk regulasi maupun eksekusinya.
Pergerakan persyarikatan dengan amal usaha yang progresif selain tidak bersifat “dima tumbuh di situ disiang” memerlukan kepemimpinan dan pemimpin yang kolektif, korektif, soliditas dan memiliki energi serta waktu yang tidak sambilan.
Selain itu, dibutuhkan kepemimpinan yang tidak “politis” dan “pragmatis”. Sebab, kepemimpinan dalam dua bentuk ini lebih berorientasi pada pemenuhan kepentingan yang bersifat individu. Baiknya hanya dipermukaan, tetapi ke dalam sangat rapuh dan keropos. Dalam istilah lokal disebut kepemimpinan “rancak di labueh”.
Selain itu, perlu menghindari jebakan mobilisasi masa persyarikatan dengan kegiatan banyak tanpa program. Dalam upaya membenahi tatakelola yang berbasis dan berorientasi ekonomi tentunya akan banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan keadaan dan kemapanan.
Sebut misalnya, penataan kampus Universitas hampir dua periode penulis menjadi Sekretaris BPH, kadang harus menghadapi tembok yang sulit ditembus, tapi harus diterobos dengan berisiko. Hasilnya baru kelihatan periode akhir kedua.
Sentralisasi keuangan, sumber daya dan aset termasuk memutus mata rantai penghalang dapat dilakukan. Kepercayaan publik termasuk pimpinan pusat sudah mulai. Hal itu, ditandai dengan bantuan konsorsium perguruan tinggi sehingga dapat membangun gedung permanen dan megah kampus Bukittinggi. Begitu pula pembangunan asrama mahasiswa dan aula yang menjadi Pusdiklat AMM dalam bentuk bantuan pemerintah pusat dan daerah.
Dengan pengelolaan persyarikatan yang berbasis pada perencanaan, pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud di atas, maka potensi dan kekuatan ekonomi yang ada di dalam akan semakin optimis ke depannya menjadi kenyataan.
Terakhir, tentu semuanya mesti dirancang dan dieksekusi oleh satu tim ekonomi yang kuat. Tidak lagi dalam bentuk wacana melainkan sudah masuk pada tataran aplikatif. Wallahu a’lam. *)
Penulis adalah Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumbar dan Sekretaris Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) Sumbar
Sumber : Tulisan yang sama telah terbit di TERAS UTAMA, Harian Padang Ekspres, Jumat (18/11/2022)