ArtMagz
  • Beranda
  • Berita
  • Artikel
  • Opini
  • Advertorial
No Result
View All Result
ArtMagz
  • Beranda
  • Berita
  • Artikel
  • Opini
  • Advertorial
No Result
View All Result
ArtMagz
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Artikel
  • Opini
  • Advertorial
Home Berita

Kepala Daerah Menyerah pada Bencana, Prof Djohermansyah: Ujian Besar Bagi Tata Kelola Pemerintahan Indonesia

Rabu, 03/12/25 | 23:48 WIB
in Berita
0
Post Views: 10
IPDN) Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA. (Foto : Dok)

JAKARTA, forumsumbar —Gelombang bencana banjir dan longsor di Sumatera kembali menyingkap kelemahan mendasar dalam tata kelola kebencanaan di Indonesia. Setelah tiga bupati di Aceh, yakni Aceh Selatan, Aceh Timur, dan Pidie Jaya, menyatakan tidak sanggup menangani bencana di daerahnya, kini Bupati Nagan Raya turut mengibarkan bendera putih.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut ketidakmampuan itu wajar, mengingat akses yang tertutup total dan keterbatasan anggaran kabupaten.

Namun, bagaimana sesungguhnya mekanisme ketika pemerintah daerah menyerah?

Baca Juga

Kementerian PU Lakukan Percepatan Pembukaan Jalan yang Putus dan Jembatan yang Rusak

Kementerian PU Lakukan Percepatan Pembukaan Jalan yang Putus dan Jembatan yang Rusak

Rabu, 03/12/25 | 17:28 WIB
Muhammadiyah Gerakkan Kekuatan Nasional Disasternya Respons Bencana Aceh, Sumut dan Sumbar

Muhammadiyah Gerakkan Kekuatan Nasional Disasternya Respons Bencana Aceh, Sumut dan Sumbar

Rabu, 03/12/25 | 15:28 WIB
Pemkab Agam Kerahkan Personel OPD untuk Percepatan Penanganan Bencana

Pemkab Agam Kerahkan Personel OPD untuk Percepatan Penanganan Bencana

Rabu, 03/12/25 | 14:40 WIB

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA, memberikan penjelasan mendalam kepada para jurnalis terhadap permasalahan tersebut, Rabu (3/12/2025).

Multi-Level Government: Ketika Rantai Kewenangan Mulai Patah

Prof Djohermansyah membuka penjelasannya dengan membedah struktur multi-level government dalam negara kesatuan (NKRI). Ada tiga lapisan pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, masing-masing dipimpin presiden, gubernur, dan bupati/walikota.

Dalam konteks bencana, bupati adalah pihak pertama yang wajib menangani wilayahnya. Namun ketika daerah tak mampu, ditandai bukti kuat seperti cakupan bencana sangat luas, dampak sosial ekonomi signifikan, hingga minimnya anggaran dan peralatan, bupati berhak menyatakan ketidaksanggupan secara resmi.

“Surat itu harus lengkap, didukung data akurat, lalu diajukan kepada gubernur,” ujar Prof Djohermansyah.

Kemudian gubernur menilai kelayakan data dan kapasitas provinsi. Jika provinsi pun tidak memadai, maka gubernur menyampaikan kepada pemerintah pusat untuk mengambil alih.

Jika pusat menyetujui, status bencana meningkat menjadi bencana nasional, dan kendali penanganan sepenuhnya diambil alih negara, mulai dari evakuasi, logistik, hingga pemulihan infrastruktur.

Tanggap Darurat Tak Bisa Menunggu Administrasi

Meski prosedur itu ada, masa darurat tidak dapat menunggu lembar-lembar administrasi.
Karena itu, penanganan segera tetap dilakukan oleh BNPB, kementerian lembaga, TNI, Polri, serta masyarakat sipil.

“Harus ada aksi nyata dulu. Kapal RS TNI AL, helikopter, Hercules, relawan, semuanya sudah bergerak.” kata Prof Djo.

Namun, ia mengingatkan bahwa apa yang terlihat di lapangan menunjukkan situasi sangat berat: banyak korban hilang belum ditemukan, wilayah masih terisolasi, dan distribusi logistik tersendat.

Perlu Berapa Banyak Bupati Menyerah untuk Menjadi Bencana Nasional?

Pertanyaan yang mengemuka: Jika bupati-bupati di Aceh sudah menyerah, apakah cukup untuk menetapkan bencana nasional?

Prof Djohermansyah mengingatkan bahwa banjir ini bukan hanya masalah Aceh, tetapi bencana satu pulau: Sumatera.

“Karena itu kewenangan pusat, seharusnya otomatis aktif. Kalau bencana melintas provinsi, pusat harus ambil alih. Itu teori pemerintahan. Namun belum ada deklarasi resmi,” ujar Prof Djo.

“Selain faktor prosedur, ada faktor lain, yakni gengsi politik. Kadang kepala daerah masih merasa mampu, atau enggan menyatakan tidak sanggup. Padahal, ini soal kemanusiaan, bukan citra,” kata Prof Djo lagi.

Indonesia Butuh Status Bencana Regional

Tak lupa Prof Djo menyampaikan kritik mendasar terhadap UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dimana di UU ini hanya mengenal tiga status: Bencana Kabupaten/Kota, Bencana Provinsi, dan Bencana Nasional.

Tidak ada Bencana Regional. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar.

“Sumatera itu satu pulau besar, terdiri dari banyak provinsi. Kalau bencana melanda tiga provinsi sekaligus, harusnya ada status ‘bencana regional’, tapi slot itu tidak ada dalam undang-undang,” terang Prof Djo.

Ketiadaan status ini membuat pusat ragu mengambil alih cepat, dan daerah tidak punya kerangka kerja antarprovinsi.

Solidaritas Antar Daerah: Sumatera Adem-adem Saja

Hal lain yang disoroti Prof Djo adalah lemahnya koordinasi antarprovinsi di Sumatera. Dari sepuluh provinsi di pulau itu, hanya tiga yang terdampak langsung. Namun tujuh provinsi lain tidak terlihat bergerak memberikan dukungan berarti.

“Yang kirim bantuan malah DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Provinsi tetangga sendiri adem-ayem,” ungkap Prof Djo.

Ia menduga penyebabnya: minim anggaran di akhir tahun, egoisme kedaerahan, tidak adanya sistem kebencanaan regional yang memaksa koordinasi.

Ini berbeda dengan Jepang yang memiliki sistem early warning dan koordinasi lintas lembaga yang rapi, sehingga korban gempa dapat ditekan seminimal mungkin.

Anggaran Kebencanaan yang Dipotong: Ironi Negara Ring of Fire

Prof Djohermansyah juga menyoroti absennya perencanaan fiskal yang memadai. Indonesia berada di ring of fire, tetapi anggaran kebencanaan justru dipangkas di banyak daerah.

Belanja tak terduga habis sebelum Desember, sementara anggaran BNPB nasional pun dikabarkan terbatas.

“Ini persoalan leadership. Kalau uang kurang, kita masih bisa gerakkan alat, relawan, dan koordinasi cepat. Tapi kalau leadership lemah, semuanya ikut lemah,” katanya.

Evaluasi Program Pra-Bencana yang Diabaikan

Ketika kepala daerah menyatakan tidak sanggup, itu juga mengindikasikan bahwa program pencegahan (pra-bencana) tidak berjalan optimal.

Mulai dari: mitigasi risiko, tata ruang, sistem peringatan dini, edukasi masyarakat, simulasi bencana.

Ini harus menjadi evaluasi serius bagi seluruh provinsi lain yang belum terdampak, terlebih dalam situasi krisis iklim global yang membuat bencana hidrometeorologi semakin tak terduga.

Kebijakan One-Policy-Fits-All Harus Diakhiri

Terakhir Prof Djo memberikan pesan kuat bahwa kebijakan pusat selama ini terlalu seragam, padahal karakter daerah berbeda-beda.

“Tidak bisa semua daerah disamaratakan. Ada daerah rawan bencana, ada yang tidak. Kebijakan harus berbeda,” katanya.

Ia menegaskan perlunya revisi menyeluruh terhadap UU Pemda dan UU Kebencanaan agar sesuai realitas Indonesia saat ini.

Banjir besar Sumatera bukan hanya bencana alam, tetapi ujian besar bagi tata kelola pemerintahan Indonesia.

Ketika empat bupati menyatakan menyerah; ketika korban hilang belum ditemukan; ketika logistik tersendat; ketika koordinasi antarprovinsi lemah; ketika undang-undang tak menyediakan jalan keluar, maka jelas ada yang harus dibenahi.

Ini bukan lagi sekadar soal status bencana. Ini adalah soal kecepatan negara melindungi rakyatnya, dan sejauh mana sistem mampu bekerja ketika semuanya benar-benar diuji.

(R/Wiztian Yoetri)

ShareSendShare

Most Viewed Posts

  • Istri Rektor ITP Hendri Nofrianto Berpulang ke Rahmatullah (15,499)
  • Lalai Eksekusi Bupati Pessel, LBH Sumbar akan Laporkan Kejari Painan ke Jamwas dan Komjak (11,764)
  • Klaim Rinaldi sebagai Ketum IKA FMIPA Unand Ditolak Alumni (9,367)
  • Ibunda Tercinta Mulyadi Wafat, Banyak Tokoh Nasional Kirim Karangan Bunga Duka Cita (9,085)
  • Ambulans Sumbangan Warga Padang Ikut Bantu Evakuasi Korban di Palestina (9,055)
  • Mevrizal: Profesi Pengacara Syariah Menggiurkan dan Kian Diminati (8,321)
  • Menakar Peluang DPD RI Dapil Sumbar di Pemilu 2024 (7,402)
  • Memenuhi Syarat, Bacalon DPD RI Hendra Irwan Rahim Dinilai Paling Siap (6,891)
  • Puncak Peringatan Hari Koperasi, Hendra Irwan Rahim: Dua Menteri Bakal Hadir di Sumbar (6,740)
  • DPD RI Bentuk Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (5,829)

Berita Lainnya

Inyiak Rajo: Pemimpin Baru dan Harapan Baru

‘Ajo JKA Pulang Kampuang’

Jumat, 21/2/25 | 00:37 WIB
‘Raja Penyair’ Pinto Janir Tampil Memukau di Acara Peringatan 20 Tahun Wafatnya Hamid Jabbar

‘Raja Penyair’ Pinto Janir Tampil Memukau di Acara Peringatan 20 Tahun Wafatnya Hamid Jabbar

Kamis, 30/5/24 | 06:00 WIB
‘Raja Penyair’ Pinto Janir: Taman Budaya Sumbar Itu Pengawal Peradaban!

‘Raja Penyair’ Pinto Janir: Taman Budaya Sumbar Itu Pengawal Peradaban!

Jumat, 14/6/24 | 20:18 WIB
“78 Tahun Makmur Hendrik”, Rektor Unand: Kaya akan Nilai Budaya dan Kearifan Lokal

“78 Tahun Makmur Hendrik”, Rektor Unand: Kaya akan Nilai Budaya dan Kearifan Lokal

Kamis, 05/6/25 | 01:41 WIB
“78 Tahun Sang Maestro Penulis Indonesia Makmur Hendrik”, Hary: Unand Dukung Gerakan Berkesenian dan Berkebudayaan

“78 Tahun Sang Maestro Penulis Indonesia Makmur Hendrik”, Hary: Unand Dukung Gerakan Berkesenian dan Berkebudayaan

Jumat, 16/5/25 | 12:12 WIB
“78 Tahun Sang Maestro Penulis Indonesia Makmur Hendrik”: Hamas Apresiasi Komitmen Fadly Amran Terhadap Pemajuan Kebudayaan

“78 Tahun Sang Maestro Penulis Indonesia Makmur Hendrik”: Hamas Apresiasi Komitmen Fadly Amran Terhadap Pemajuan Kebudayaan

Minggu, 11/5/25 | 19:31 WIB
  • Aman Makmur
  • Beranda
  • Tim Redaksi

© 2025 - Amanmakmur.com

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Artikel
  • Opini
  • Advertorial

© 2025 - Amanmakmur.com