
Oleh: Prof Djohermansyah Djohan
(Pakar Otda / Guru Besar IPDN)
RAZIA kendaraan berplat Aceh (BL) di Sumatera Utara (Sumut) oleh Gubernur Bobby Nasution menuai kritik publik. Peristiwa yang berlangsung di Jalan Lintas Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, disebut sebagai upaya memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, bila ditilik dari perspektif otonomi daerah, tindakan orang nomor satu di Sumut ini justru menimbulkan problem serius yang berpotensi mengganggu keharmonisan hubungan antara kedua daerah bertetangga. Tidak hanya itu, tindakan kepala daerah melakukan razia kendaraan bertentangan dengan regulasi yang ditetapkan pusat.
Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) jelas mengatur bahwa kewenangan penindakan pelanggaran lalu lintas adalah kewenangan polisi lalu lintas, bukan gubernur.
Plat nomor kendaraan yang sah, meski berasal dari provinsi lain, tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Artinya, tidak ada dasar hukum menindak hanya karena kendaraan tersebut berplat nomor luar daerah. Maka, secara hukum lalu lintas, razia tersebut dapat dinilai melampaui kewenangan gubernur.
Dari pandangan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah No 1 Tahun 2022 tegas dinyatakan bahwa PKB dikenakan sesuai domisili pemilik kendaraan sebagaimana tercantum dalam KTP.
Jika pemilik ber-KTP Aceh dan kendaraannya berplat BL, maka pajaknya dibayar kepada Pemerintah Aceh, bukan kepada Pemprov Sumut. Sumut tidak berwenang memaksa wajib pajak Aceh untuk membayar ke kas daerahnya. Upaya mengalihkan potensi pajak hanya demi PAD bisa dianggap bertentangan dengan prinsip pemungutan pajak yang sah dan adil.
Dari sudut otonomi daerah, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan pentingnya menjaga hubungan harmonis dan serasi antar daerah dalam semangat NKRI.
Razia yang terkesan diskriminatif terhadap kendaraan Aceh justru berpotensi mencederai prinsip kerja sama antar daerah. Seorang gubernur seharusnya mendorong koordinasi fiskal melalui prosedur baku pemerintahan (korespondensi, rakor) bukan melalui razia di jalanan gaya koboy.
Tindakan ini pun tidak etis dan berisiko menimbulkan gesekan sosial antara orang Aceh dan Sumut.
Lebih jauh, razia semacam ini dapat memicu sentimen kedaerahan. Alih-alih meningkatkan PAD, langkah tersebut malah menurunkan kepercayaan publik dan menimbulkan ketegangan antar masyarakat bertetangga. Padahal, stabilitas sosial jauh lebih bernilai daripada sekadar tambahan angka PAD.
Berdasarkan UU Pemda No 23 Tahun 2014 kepada Menteri Dalam Negeri diberi kewenangan untuk membina dan mengawasi kepala daerah. Jika gubernur mengambil kebijakan yang melampaui kewenangan atau berpotensi mengganggu hubungan harmonis antar daerah, maka Kemendagri wajib mengambil tindakan korektif.
Mekanismenya bisa berupa pemberian teguran lisan ataupun tertulis kepada gubernur, dan sekaligus meminta penghentian tindakan yang dinilai telah melanggar kewenangan tersebut.
Jika pelanggaran diulangi atau tidak diindahkan, bahkan kepala daerah dapat diberhentikan sementara untuk dilakukan pembinaan khusus.
Teguran dari Mendagri bukan sekadar prosedur birokrasi, melainkan sinyal penting bahwa pemerintah pusat tetap konsisten menjaga penerapan UU oleh kepala daerah serta kewajiban memelihara kondusivitas relasi sosial antar daerah.
Razia kendaraan berplat Aceh oleh Gubernur Sumut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari perspektif lalu lintas, pajak daerah, maupun otonomi daerah. Lebih dari itu, ia berisiko menimbulkan gesekan sosial antar masyarakat Aceh dan Sumut yang sebenarnya telah lama hidup berdampingan dengan damai.
Oleh karena itu, Mendagri seyogianya tak perlu “ewuh pakewuh” menegur Gubernur Bobby yang menantu dari mantan Presiden Joko Widodo. Sejalan dengan itu, kepada Gubernur Aceh sendiri diminta pula untuk menenangkan masyarakatnya dan tidak melakukan tindakan yang memperuncing keadaan. *)












