
Oleh Irdam Imran
(Pengamat Sosial dan Politik)
1. Kenyamanan yang Membelenggu
Sejak era Presiden Jokowi, anggota DPR RI menerima tunjangan dan fasilitas dengan jumlah mencengangkan. Gaji pokok mereka hanya sekitar Rp 4,2 juta, namun dengan berbagai tunjangan—mulai dari perumahan Rp 50 juta per bulan, bensin Rp 7 juta, komunikasi Rp 7,7 juta, tunjangan keluarga, tunjangan beras Rp 12 juta, hingga biaya perjalanan dinas puluhan juta rupiah per pekan—total penghasilan bisa menembus Rp 200 juta lebih per bulan.
Ironinya, fasilitas ini diberikan di tengah kondisi rakyat yang masih berjuang menghadapi kemiskinan, pengangguran, dan tingginya harga kebutuhan pokok.
2. Mekanisme Sistemik: Melemahkan DPR, Menguatkan Partai
Fasilitas DPR bukan hanya soal “kesejahteraan pejabat publik”. Ada agenda politik yang lebih besar:
Ketergantungan pada eksekutif
Dengan seluruh kebutuhan hidup dibiayai negara, DPR kehilangan daya kritis terhadap pemerintah. Bagaimana mungkin lembaga yang begitu dimanjakan bisa konsisten mengawasi pemberi fasilitas?
Parpol makin kuat, rakyat makin jauh. Anggota DPR menjadi instrumen logistik partai. Loyalitas mereka lebih pada parpol, bukan pada konstituen. Demokrasi konstitusional yang mestinya bertumpu pada kedaulatan rakyat justru tersubordinasi pada oligarki partai.
Matinya checks and balances
Demokrasi menuntut keseimbangan antar-lembaga. Namun, DPR yang sudah “dibeli” fasilitas akan lebih sibuk menjaga status quo ketimbang mengoreksi kebijakan eksekutif.
3. Perbandingan Internasional
Untuk memperjelas absurditas ini, mari kita bandingkan:
Amerika Serikat (US Congress):
Anggota Kongres mendapat gaji sekitar USD 174.000 per tahun (setara Rp 220 juta per bulan). Namun, mereka membiayai sendiri perumahan, transportasi, bahkan kesehatan sebagian ditanggung pribadi. Transparansi ketat membuat rakyat tahu setiap pengeluaran.
Inggris (House of Commons):
Anggota parlemen mendapat gaji pokok sekitar GBP 91.000 per tahun (sekitar Rp 150 juta per bulan). Namun, setiap klaim tunjangan—bahkan tiket kereta atau tagihan listrik—harus dilaporkan secara publik. Skandal kecil bisa membuat anggota parlemen mundur.
Indonesia (DPR RI):
Anggota DPR bisa mendapat Rp 200 juta lebih per bulan, dengan sebagian besar fasilitas tanpa kewajiban transparansi ke publik. Reses yang seharusnya untuk bertemu rakyat sering berubah jadi kegiatan seremonial dengan dana miliaran.
Hasilnya? Di negara demokrasi mapan, parlemen dihormati karena akuntabilitas. Di Indonesia, parlemen kehilangan wibawa karena kemewahan yang menutup jarak dengan rakyat.
4. Demokrasi dalam Bahaya
Demokrasi konstitusional di Indonesia sekarat. DPR yang mestinya menjadi benteng rakyat justru berubah menjadi menara gading.
Jika pola ini berlanjut, Indonesia akan memasuki era supremasi oligarki: eksekutif yang dominan, legislatif yang jinak, yudikatif yang gamang, dan rakyat yang hanya menjadi penonton.
5. Jalan Perubahan
Untuk menyelamatkan demokrasi konstitusional, ada beberapa langkah mendesak: pertama, Revisi sistem tunjangan DPR agar lebih rasional dan akuntabel.
Kedua, Transparansi keuangan DPR: setiap rupiah tunjangan harus dipublikasikan ke rakyat.
Ketiga, Reformasi partai politik agar anggota DPR kembali menjadi wakil rakyat, bukan sekadar mesin partai.
Keempat, Penguatan civil society untuk mengawal fungsi DPR secara independen.
6. Penutup
Tunjangan DPR era Jokowi adalah cermin demokrasi yang dibelokkan: bukan untuk memperkuat rakyat, melainkan untuk mengikat wakil rakyat dalam lingkaran oligarki.
Maka, perjuangan kita hari ini bukan hanya soal angka tunjangan, tetapi soal mengembalikan supremasi konstitusi di atas segala kepentingan politik. *)
Penulis : Mantan Birokrat Parlemen Senayan, dan Kader Partai Ummat Kini Tinggal di Depok, Jawa Barat












