
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan 1992–2018, dan Pengurus Partai Ummat Cilodong, Depok)
GELOMBANG demonstrasi rakyat Pati yang menuntut mundurnya Bupati Sudewo adalah potret krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Ironisnya, di tengah kegaduhan ini, nyaris tak terdengar peran Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen OTDA) Kemendagri—unit yang secara tupoksi justru bertanggung jawab mengawal pelaksanaan otonomi daerah. Keheningan ini menimbulkan pertanyaan: apakah pengawasan otonomi daerah masih berpihak pada rakyat, atau sudah terjebak dalam arus kebijakan pusat yang cenderung resentralisasi?
Bukan hanya Ditjen OTDA yang absen. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), yang lahir pasca reformasi sebagai representasi politik daerah untuk mengawal pelaksanaan otonomi, juga nyaris tidak terdengar suaranya. Padahal, mandat konstitusional DPD RI jelas: memastikan kebijakan nasional tidak merugikan kepentingan daerah, termasuk di bidang fiskal. Diamnya DPD RI dalam kontroversi PBB Pati ini sama artinya membiarkan ruh otonomi daerah tergerus.
Akar masalahnya berawal dari arahan Menteri Dalam Negeri yang mendorong seluruh kepala daerah meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Arahan ini, yang di Pati diterjemahkan menjadi kenaikan PBB hingga 250%, memukul daya beli warga dan memicu protes besar. Kebijakan tersebut dilaksanakan tanpa dialog publik memadai, sehingga rakyat melihat kepala daerah lebih sebagai pelaksana instruksi pusat ketimbang pelindung kepentingan masyarakatnya.
Padahal, UUD 1945 Pasal 18 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa otonomi daerah adalah instrumen untuk mendekatkan pelayanan publik dan memberi ruang adaptasi kebijakan sesuai kondisi sosial-ekonomi setempat. Ketika kebijakan fiskal daerah sepenting PBB dipatok secara seragam dari pusat, esensi otonomi daerah tergeser menjadi sekadar kewajiban administratif.
Reformasi 1998 telah menegaskan komitmen desentralisasi kekuasaan. Tetapi kini, gejala recentralization menguat. Ditjen OTDA melemah fungsinya, DPD RI kehilangan keberanian politiknya, dan kepala daerah terjebak dalam posisi dilematis: menjalankan perintah pusat atau melindungi rakyatnya.
Kasus Pati harus menjadi peringatan nasional. Mekanisme konstitusional seperti hak angket DPRD dan pemakzulan kepala daerah bukan sekadar urusan politik lokal, tetapi juga ujian bagi kesetiaan negara terhadap prinsip otonomi daerah. Kita tidak hanya sedang menilai perilaku seorang bupati, tetapi sedang menguji apakah konstitusi dan UU Pemda masih dihormati.
Jika kita ingin demokrasi lokal tetap hidup, Ditjen OTDA harus kembali ke khitahnya, DPD RI harus bangkit dari diamnya, dan kebijakan pusat harus kembali selaras dengan konstitusi. Tanpa itu, janji reformasi hanya akan tinggal sejarah, dan rakyat di daerah akan terus menjadi korban kebijakan yang mengatasnamakan mereka, tapi tidak pernah berpihak pada mereka. *












