
Oleh: Irdam Imran
(Mantan Birokrat Parlemen Senayan, Aktivis Partai Ummat Amien Rais)
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) layak diapresiasi sebagai upaya menata ulang tahapan demokrasi elektoral yang selama ini tumpang tindih.
Namun, konsekuensinya bukan hanya teknis. Di balik itu tersembunyi satu peluang besar yang seharusnya tidak kita abaikan: mendorong penguatan demokrasi lokal melalui legalisasi partai politik lokal.
Sejak reformasi, otonomi daerah mengalami kemajuan administratif tetapi stagnan secara politik. Selama dua dekade terakhir, kekuasaan lokal justru banyak dikendalikan oleh elit partai nasional yang cenderung sentralistis. Rakyat daerah hanya menjadi objek pemilihan, sementara rekrutmen calon, distribusi logistik politik, dan keputusan strategis tetap berpusat di Jakarta.
Putusan MK yang memisahkan pemilu membuka kemungkinan jeda antara akhir masa jabatan kepala daerah dan Pilkada berikutnya. Jika tidak ada kebijakan khusus, akan terjadi gelombang besar pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah.
Situasi ini sangat rawan karena Pj adalah jabatan politik non-elektoral yang sangat bergantung pada restu pusat, rentan menjadi alat transaksi kekuasaan. Di tengah kondisi ini, menghadirkan partai politik lokal menjadi kebutuhan demokratis dan konstitusional.
Mengapa Perlu Partai Lokal?
Pertama, konteks lokal tidak bisa direduksi oleh logika partai nasional. Masalah agraria di Kalimantan, perikanan di Maluku, atau transmigrasi di Papua, berbeda akar dan dampaknya dengan isu-isu politik di Jawa. Partai lokal memungkinkan warga setempat memiliki kendaraan politik yang relevan dengan kebutuhan mereka sendiri.
Kedua, penguatan kaderisasi politik dari bawah. Saat ini, tokoh-tokoh daerah yang potensial justru tersingkir karena tidak punya akses ke elit pusat. Partai lokal bisa menjadi tempat tumbuhnya kepemimpinan alternatif yang organik, bukan hasil “parasut politik.”
Ketiga, pengurangan dominasi oligarki. Partai lokal, dengan basis sosial yang lebih kecil dan dekat, berpotensi lebih akuntabel dan transparan. Tidak seperti partai nasional yang kerap dikuasai cukong dan elit dinasti, partai lokal lebih mudah dikontrol publik setempat.
Keempat, Aceh telah membuktikan bahwa partai lokal bukan ancaman bagi NKRI. Justru sebaliknya: ia menjadi instrumen perdamaian dan demokratisasi. Apa yang berlaku di Aceh, bisa diperluas ke daerah lain dengan penyesuaian konstitusional yang bijak.
Jalan Konstitusional
Pembukaan ruang bagi partai lokal di seluruh Indonesia dapat dilakukan dengan dua jalur. Pertama, revisi Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu yang selama ini mengunci legalitas partai hanya untuk skala nasional. Ini membutuhkan keberanian politik di DPR dan pemerintah.
Kedua, melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, untuk menegaskan bahwa hak warga negara dalam berorganisasi secara politik di tingkat lokal adalah bagian dari kebebasan berserikat dan hak politik sebagaimana dijamin UUD 1945.
Langkah ini tidak akan mudah. Tapi jika kita ingin menyelamatkan demokrasi dari stagnasi dan kooptasi oligarki, inilah saatnya melangkah lebih jauh. Kita tidak bisa hanya mengutuk sentralisasi kekuasaan tanpa membuka jalur politik baru dari bawah.
Momentum Reformasi Jilid Dua
Kita sudah memiliki pengalaman panjang dengan partai nasional. Sebagian telah menguatkan demokrasi, tetapi tak sedikit yang justru menjadi saluran korupsi, kartelisasi, dan nepotisme. Kini, lewat pemisahan Pemilu dan Pilkada, publik mendapat ruang baru untuk mendesak desentralisasi politik yang sejati.
Jika partai lokal diberi ruang di Aceh sebagai hasil MoU Helsinki dan aman secara hukum, tidak ada alasan untuk menutup peluang serupa di daerah lain. Yang dibutuhkan adalah niat politik dan keberanian melangkah ke depan.
Kita tidak sedang berbicara soal pemecahan NKRI. Kita bicara tentang keadilan politik dan distribusi kekuasaan yang lebih merata, sesuai semangat desentralisasi yang termaktub dalam amanat reformasi.
Pada dasarnya, putusan MK seharusnya tidak hanya dipahami sebagai penjadwalan ulang Pilkada. Ia harus dibaca sebagai momentum untuk menyempurnakan demokrasi lokal. Tanpa partai politik lokal, kita akan terus berputar dalam siklus lama: rakyat memilih, tetapi yang memutuskan tetap elit pusat.
Maka, sekarang saatnya berbicara tentang partai politik lokal — bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kebutuhan demokrasi modern yang sehat dan berakar. *)