
Oleh: Irdam Imran
(Alumni FISIP Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Angkatan 1985)
PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia siap mengakui negara Israel, dengan satu syarat: Palestina harus terlebih dahulu meraih kemerdekaannya. Sebuah pernyataan yang—jika tidak dibaca dengan cermat—terdengar sebagai upaya berimbang dan moderat. Namun jika ditelisik lebih dalam, kita menemukan bahaya yang mengintai: normalisasi penjajahan melalui diplomasi.
Selama ini, posisi Indonesia terhadap Palestina selalu tegas: menolak penjajahan dalam bentuk apa pun, sesuai amanat konstitusi. “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa,” demikian tertulis dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Maka, Indonesia mendukung Palestina bukan karena politik identitas, melainkan karena panggilan konstitusi dan nurani kemanusiaan.
Kini, pendekatan two-state solution atau solusi dua negara kembali diusung. Sebuah gagasan lama yang kerap dihidangkan dalam retorika damai, namun tak pernah membuahkan keadilan. Sejak Perjanjian Oslo 1993, janji dua negara itu lebih sering menjadi alat pengalihan ketimbang penyelesaian. Sementara dunia berdiskusi soal “koeksistensi damai”, Israel terus membangun permukiman ilegal, mengusir warga Palestina, dan membombardir Gaza.
Koeksistensi tanpa keadilan adalah koeksistensi semu.
Realitasnya, Israel tidak pernah mengakui hak Palestina secara penuh. Yerusalem dicaplok. Gaza diblokade. Tepi Barat dipreteli seperti potongan roti. Israel ingin dua negara hanya jika Palestina bersedia menjadi negara boneka tanpa tentara, tanpa bandara, tanpa pelabuhan, dan tanpa hak kembali bagi para pengungsi.
Mengakui Israel tanpa memastikan kemerdekaan sejati Palestina adalah bentuk kompromi terhadap penjajahan. Itu seperti mengakui apartheid Afrika Selatan pada masa lalu sambil berharap kaum kulit hitam akan merdeka suatu hari nanti.
Indonesia tidak boleh terseret dalam narasi ini. Kita bukan negara pragmatis yang mendahulukan lobi di atas prinsip. Kita memiliki sejarah panjang membela bangsa-bangsa tertindas. Bahkan, dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, kita berdiri di garis depan memperjuangkan kedaulatan negeri-negeri terjajah.
Hari ini, kita dihadapkan pada ujian sejarah yang sama.
Jika Indonesia benar-benar ingin memediasi perdamaian, maka syarat utamanya bukan pengakuan terhadap dua negara, melainkan penghentian penjajahan. Dunia tidak memerlukan lebih banyak basa-basi diplomasi; dunia membutuhkan sikap. Tegas, konsisten, dan berpihak pada korban.
Solusi satu negara yang demokratis, setara, dan menjamin hak-hak seluruh penduduk tanpa diskriminasi, justru kian mendapat dukungan dari para akademisi dan tokoh global. Mungkin sudah waktunya kita keluar dari bayang-bayang solusi dua negara yang telah menjadi mitos, dan mulai mendorong solusi yang berakar pada keadilan hakiki.
Karena damai tanpa keadilan, hanyalah jeda sebelum penindasan berikutnya. *)












