
Oleh: Irdam Imran
(Pengamat Sosial dan Politik / Mantan Pegawai DPD RI)
PELANTIKAN seorang perwira tinggi Polri aktif, Irjen Pol, sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI di tahun ke-27 Reformasi merupakan bentuk nyata kegagalan konsolidasi demokrasi dan supremasi konstitusi di Indonesia.
DPD RI dibentuk sebagai amanat reformasi, untuk memperkuat keterwakilan daerah secara demokratis dalam sistem ketatanegaraan.
Kehadiran aparat kepolisian aktif di posisi strategis seperti Sekjen DPD RI menodai semangat tersebut dan menunjukkan kembalinya pola lama: dominasi aparat dalam ruang sipil dan birokrasi kenegaraan.
Ini bukan sekadar persoalan prosedural, tapi pelanggaran terhadap semangat reformasi yang menuntut profesionalisme aparat keamanan, netralitas birokrasi, dan supremasi sipil.
Penunjukan ini juga mengindikasikan bahwa institusi negara makin permisif terhadap infiltrasi kekuasaan yang tidak semestinya.
Penulis memandang langkah ini sebagai gejala “reformasi yang dibajak” dan tanda bahwa supremasi konstitusi hanya dijadikan simbol tanpa substansi.
DPD RI seharusnya menjadi benteng kepentingan daerah dan rakyat, bukan menjadi arena kompromi antara kekuasaan sipil dan kekuatan keamanan.
Penulis menyerukan kepada pimpinan DPD RI, masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa untuk tidak tinggal diam.
Reformasi harus dikoreksi, dan supremasi konstitusi harus ditegakkan, bukan dikompromikan. *)












