
JAKARTA, AmanMakmur —Kepergian Bupati Aceh Selatan Mirwan MS untuk menunaikan ibadah umroh di tengah kondisi banjir besar yang melanda wilayahnya menuai kritik luas.
Tidak hanya itu, Partai Gerindra resmi mencopot Mirwan dari jabatan Ketua DPC Aceh Selatan, sementara Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sudiarto menyatakan akan menurunkan inspektur Kemendagri untuk memeriksa tindakannya.
Mirwan disebut pergi tanpa izin pemerintah pusat, yang merupakan pelanggaran serius menurut ketentuan perundang-undangan.
Di waktu yang hampir bersamaan, belasan anggota DPRD Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat, justru melakukan kunjungan kerja ke Sleman, Yogyakarta, saat warga mereka menghadapi bencana. Dua peristiwa ini memunculkan pertanyaan publik mengenai sensitivitas pejabat daerah terhadap penderitaan masyarakat.
Dalam penjelasan Guru Besar IPDN, Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA, ia menguraikan persoalan ini dari sisi etika kepemimpinan hingga aspek regulasi yang jelas diatur dalam undang-undang.
Kurang Sensitif, Abai Terhadap Rakyat
Menurut Prof. Djohermansyah, tindakan kepala daerah dan anggota DPRD yang meninggalkan daerahnya saat rakyat tengah menghadapi bencana merupakan bentuk ketidakpekaan yang mencolok.
“Kalau rakyat lagi susah, apalagi terkena bencana, pemimpin itu harus hadir. Jangan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok,” tegasnya.
Ia menilai umroh merupakan kepentingan pribadi, sementara studi banding para anggota dewan adalah kepentingan lembaga—keduanya tidak tepat dilakukan saat masyarakat menghadapi musibah.
Ada Aturannya: Kepala Daerah Pergi ke Luar Negeri Harus Berizin
Prof Djohermansyah menegaskan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 secara tegas mengatur larangan kepala daerah bepergian ke luar negeri tanpa izin pemerintah pusat.
Pasal 76 ayat (1) huruf i menyebutkan bahwa kepala daerah dapat diberi sanksi bila; pergi ke luar negeri tanpa izin, termasuk perjalanan pribadi seperti umroh.
“Sanksinya pun jelas. Diberhentikan sementara selama tiga bulan dan wajib mengikuti pembinaan khusus di Kemendagri,” kata Prof Djo, demikian panggilan akrab pakar otonomi daerah ini.
Dalam masa pemberhentian sementara itu, tugas Bupati digantikan oleh Wakil Bupati. Kasus serupa pernah terjadi pada Bupati Indramayu, Lucky Hakim, yang diberhentikan sementara setelah bepergian untuk liburan ke Jepang tanpa izin.
Kenapa Izin Penting?
Menurut Prof Djo, izin bukan sekadar formalitas. Ini terkait dengan: Pertama, Keberlanjutan layanan publik, terutama saat daerah menghadapi bencana.
Kedua, Etika jabatan publik, karena kepala daerah membawa nama negara saat berada di luar negeri.
Dan, Ketiga, Menjamin roda pemerintahan tetap berjalan, dengan memberi waktu kepada Kemendagri menunjuk pelaksana tugas yang sah.
“Bahkan pegawai biasa saja kalau meninggalkan kantor tanpa izin kena sanksi. Apalagi kepala daerah,” ujarnya.
Suara Publik: “Pemimpin Harus Hadir Saat Rakyat Susah Didera Bencana”
Prof Djo menyebutkan, banyak wilayah di tiga provinsi di bagian Utara Sumatera yang jalan dan jembatannya putus, masyarakat kesulitan air bersih dan BBM, serta logistik,
Sementara pejabat eksekutif maupun legislatif tidak terlihat di lapangan. “Mereka ini penyelenggara pemda, tapi di saat rakyat susah, mereka absen. Kok bisa begitu?” tanya Prof Djo.
Prof Djo juga menyinggung minimnya edukasi mengenai tugas pokok pejabat daerah, sehingga etika dan SOP pemerintahan sering diabaikan.
Maka, pembenahan besar diperlukan, baik dalam sistem kepartaian, peran DPRD sebagai wakil rakyat, hingga integritas kepala daerah yang banyak menduduki jabatannya melalui praktik transaksional.
Ketidakhadiran Kepala Daerah Saat Bencana = Bentuk Kelalaian
Prof Djo menegaskan, pemimpin publik harus hadir langsung dalam situasi bencana.
“Kepala daerah dalam melakukan kerja motivasi tidak bisa diwakilkan. Ia harus datang sendiri melihat warga yang terdampak, memahami kondisi, dan memastikan bantuan berjalan,” kata Prof Djo.
Jika kepala daerah tidak hadir, terlebih meninggalkan daerah tanpa izin, maka itu: melanggar undang-undang Pemda,
melanggar etika jabatan publik, dan mengabaikan kewajiban konstitusional melayani rakyat.
Pandangan Publik: Sanksi Harus Tegas
“Kalau bepergian sebelum bencana mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau saat bencana, ya harus disanksi berat,” tegas Prof Djo.
Prof Djo mengemukakan pendapat tersebut, dan menambahkan bahwa staf di sekretariat daerah pasti sudah mengingatkan kepala daerah soal prosedur izin. Jika tetap berangkat, konsekuensi harus diterima.
Gerindra yang langsung mencopot Mirwan dari jabatan partai menjadi contoh bahwa organisasi politik pun dapat bersikap tegas.
Kasus Bupati Aceh Selatan membuka kembali sorotan terhadap lemahnya etika publik sebagian pejabat daerah. Undang-undang telah mengatur mekanisme sanksi, namun tetap membutuhkan keberanian pemerintah pusat untuk menegakkannya. Publik berharap langkah tegas Kemendagri dapat menjadi efek jera bagi kepala daerah lain agar lebih peka dan bertanggung jawab kepada rakyat yang mereka pimpin.
(R/Wiztian Yoetri)












