
JAKARTA, AmanMakmur —– Anggota Komite IV DPD RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), RA Yashinta Sekarwangi Mega, mempertanyakan efektivitas transmisi kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang dinilai belum berpihak pada generasi muda.
Dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI dengan Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner OJK, Senin (17/11/2025), Yashinta menyoroti keluhan utama yang ia temukan di masyarakat, khususnya generasi muda di DIY.
“Meskipun BI-Rate telah diturunkan sebesar total 150 basis poin sejak September 2024, generasi muda belum merasakan dampak signifikan pada penurunan bunga kredit. Ini membuat mereka khawatir untuk memulai usaha dan menyicil rumah karena harganya menjadi tidak terjangkau,” ujar Yashinta.
Yashinta memaparkan fenomena sticky downward, di mana suku bunga kredit perbankan sangat lambat merespons ketika BI-Rate turun. Sebaliknya, perbankan sangat cepat menaikkan suku bunga kredit, khususnya KPR dan kredit konsumsi, ketika BI-Rate dinaikkan.
Ia mempertanyakan langkah konkret BI untuk mendorong perbankan agar lebih cepat merespons penurunan suku bunga acuan. “Suku bunga kredit perbankan di Indonesia bersifat sticky downward yang artinya ketika Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya atau BI-Rate, perbankan merespons dengan sangat lambat untuk menurunkan suku bunga kredit mereka. Sebaliknya, ketika BI-Rate dinaikkan, suku bunga kredit, khususnya KPR dan kredit konsumsi merespons dengan sangat cepat,” kata Yashinta.
Selain isu suku bunga, Yashinta juga menyoroti adanya kenaikan mengenai NPL dari sektor UMKM antara Bulan Februari dan Agustus 2025. “Data pada Bulan Februari 2025 memperlihatkan bahwa NPL UMKM sebesar 4,15%, dan NPL Non UMKM sebesar 1,76% dengan gap risiko sebesar 2,39%. Namun data pada bulan Agustus 2025 memperlihatkan adanya kenaikan pada NPL UMKM menjadi 4,7%. Hal ini memperlihatkan bahwa sektor UMKM masih rentan terhadap kemampuan mereka untuk melunasi kredit yang ada,” ujar Yashinta.
Ia juga menegaskan bahwa tingginya NPL UMKM seringkali bukan disebabkan oleh karakter debitur, melainkan karena kurangnya pendampingan bisnis dan literasi keuangan. “Saya melihat NPL UMKM yang tinggi seringkali bukan karena karakter debitur, namun karena kurangnya pendampingan. Oleh karena itu, saya merekomendasikan dan mendorong OJK untuk membuat skema yang mewajibkan perbankan menyalurkan kredit UMKM, khususnya kepada generasi muda dibarengi dengan adanya program pendampingan bisnis dan literasi keuangan yang intensif,” tegas Anggota DPD RI termuda dari DIY tersebut.
Menurutnya, langkah ini penting agar usaha yang dijalankan generasi muda bisa lebih berkembang sekaligus mematahkan stigma bahwa UMKM yang dimiliki anak muda merupakan debitur berisiko tinggi.
Permasalahan yang ada ditanggapi oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo yang menegaskan bahwa BI selalu berkoordinasi dengan OJK.
BI telah menurunkan suku bunga, namun transmisi ke suku bunga kredit dan deposito di perbankan memang tidak kunjung turun. Permasalahan ini, menurutnya, menjadi fokus koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
“Bank Indonesia selalu berkoordinasi dengan OJK. BI sudah menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate, namun suku bunga kredit dan suku bunga deposito di perbankan tidak kunjung turun. Permasalahan ini yang menjadi fokus koordinasi antara BI dan OJK agar dapat mempercepat penurunan suku bunga di perbankan. Dalam hal ini, Bank Indonesia sebagai regulator makro perbankan, dan OJK regulator mikro perbankan,” ujar Perry Warjiyo.
Rapat Kerja antara Komite IV DPD RI dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan merupakan komitmen untuk menghasilkan kebijakan moneter yang mendukung pertumbuhan ekonomi, utamanya pada sektor rill yang ada di masyarakat.
(R/dpd)












